Apakah Saya Harus Mencintai Diri atau Membenci Diri saya? (2Tim.3:1-4; Amsal 19:8)

Bolehkah mencintai diri sendiri? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, saya akan menceritakan dengan singkat sebuah kisah dalam Mitologi Yunani.

Pelajaran dari Motologi Narcissus[1]
Dalam mitologi Yunani, ada kisah cinta yang mengharukan antara peri Echo dan Narcissus. Narcissus adalah peri tampan yang menolak banyak cinta peri lainnya. Salah satunya adalah Echo.

Echo adalah seorang peri cantik yang dihukum oleh Dewi Hera. Echo hanya bisa mengulangi beberapa kata terakhir dari perkataan orang lain. Echo ditolak dan direndahkan oleh Narcissus.
Karena begitu mempesonanya, Narcissus disukai, bukan hanya oleh peri wanita, tetapi juga peri laki-laki. Salah satu peri itu bernama Ameinius, ia adalah salah satu pengagum yang paling bersemangat di masa muda dan tanpa henti bersaing merebut perhatian Narcissus. Tetapi, apa yang dilakukan Narcissus? Peri sombong menanggapinya dengan mengirimkan pedang kepada Ameinius dan memberitahunya untuk membuktikan kekagumannya.
Ameinius tidak tahu bagaimana lagi untuk membuktikan kekagumannya, ia memutuskan untuk menusukkan pedang ke dalam hatinya, melakukan bunuh diri untuk menunjukkan cintanya. Saat dia terbaring sekarat, dia memohon para dewa untuk menghukum Narcissus yang tak berperasaan.
https://www.ancient.eu/Narcissus/
Dewi Artemis yang menandai perilaku Narcissus yang buruk, memberinya kutukan. Dewi Artemis membuat Narcissus jatuh cinta, tetapi jenis cinta yang tidak dapat dipenuhi.
Suatu ketika Narcissus hendak minum di suatu sungai dia melihat pantulan wajahnya di dalam air dan ia menjadi jatuh cinta pada wajahnya sendiri. Karena begitu terobsesi akhirnya bunuh diri di tepi sungai itu. Dan ditempat darahnya tertumpah tumbuhlah bunga Narsis.
https://www.ancient.eu/Narcissus/
Dari mitos tersebut tergambar definisi Cinta Diri sebagai obsesi yang tidak akan pernah terpuaskan. seorang yang mencintai dirinya, maka ia tidak akan mendapatkan kepuasan dari cinta itu. sebaliknya, Cinta itu menghancurkannya. Jadi kembali ke pertanyaan awal, bolehkah mencintai diri sendiri?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari kita membuka bagian Alkitab dari 2 Timotius 3:1-4.

Mencintai Diri Sendiri adalah Tanda Kebobrokan Zaman Akhir (2Timotius 3:1-4)
            Paulus menyatakan dalam surat 2 Timotius bahwa cinta diri merupakan salah satu ciri dari manusia zaman akhir yang memberontak terhadap Allah. Pada bagian yang kita baca, didaftarkan beberapa ciri manusia yang memberontak terhadap Allah, sebagai berikut:
mencintai dirinya sendiri (philautos), menjadi hamba uang (philarguros), membual, menyombongkan diri, pemfitnahberontak terhadap orang tua, tidak tahu berterima kasih, tidak mempedulikan agama, tidak tahu mengasihi, tidak mau berdamai, suka menjelekkan orang, tidak dapat mengekang diri, garang, tidak suka yang baik (aphilagathos), suka mengkhianat, tidak berpikir panjang, berlagak tahu, menuruti hawa nafsu (philÄ“donos), (tidak) menuruti Allah (philotheos).             Seorang penafsir mengatakan bahwa cinta diri merupakan ringkasan dari seluruh karakteristik di atas. Cinta diri (philautos - pertama disebut) yang kontras dengan Cinta Allah (philatheos - terakhir disebut).[2]
            Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan, bolehkah mencintai diri? sekali lagi jangan terburu-buru menjawab. Sebelum mencoba menjawabnya, saya mengajak saudara melihat satu fenomena berkembang beberapa waktu belakangan ini.

Pelajaran dari fenomena Sologamy
            Apa itu poligami? Seorang pria yang menikah dengan lebih dari satu wanita dalam satu rumah tangga. Apa itu poliandri? Seorang wanita yang menikah dengan lebih dari satu pria dalam satu rumah tangga.[3] Apa itu monogami? pernikahan satu pria dan satu wanita dalam satu rumah tangga. Lalu apa itu sologami?
            Sologami adalah fenomena menikah dengan diri sendiri. Saya sendiri tidak setuju dengan konsep pernikahan yang digaungkan oleh para praktisi sologami, karena pernikahan dalam pandangan Kristen punya elemen sakral dan prinsipnya diatur di dalam Alkitab. Akan tetapi ada poin yang menarik dari cara pandang praktisi sologami melihat diri mereka.
            Mari kita lihat video berikut: sologamy-40-year-woman-marries-tired-waiting-mr-right.[4] 
Beberapa konsep yang positif dari praktisi Sologamy:
1.    melawan pandangan umum bahwa seseorang tidak utuh (enough) jika tidak punya pasangan (suami/isteri).
2.    menghargai atau mengasihi diri merupakan pondasi untuk mengasihi orang lain.

Jadi bolehkah mencintai diri sendiri? Mari kita lihat bagian lain Alkitab yang membicarakan tentang cinta diri. Mari kita buka Amsal 19:8.

Mencintai Diri Sendiri adalah wujud nyata seorang yang mempunyai hikmat (Amsal 19:8)

Puisi di Amsal 19:8 menyatakan:

Siapa memperoleh akal budi,             mengasihi dirinya;
siapa berpegang pada pengertian,     mendapat kebahagiaan.

Jika seseorang berakal budi dan punya pengertian, maka ia akan mengasihi dirinya dan berbahagia. Sebaliknya jika seseorang tidak berakal budi dan tidak mengerti, maka ia tidak mengasihi diri dan tidak bahagia. Apakah saudara seorang yang berakal budi? Maka seharusnya saudara mengasihi diri saudara.
Efesus 5:29 menyatakan, “Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat.”

Balik lagi ke pertanyaan awal: bolehkah mencintai diri sendiri? Mengapa kecintaan terhadap diri membawa kita pada dua sikap yang nampak saling bertentangan: jangan mencintai dirimu sekaligus cintai dirimu? Mengapa ada paradoks dalam Cinta terhadap Diri?

Penyelesaian Paradoks Cinta Diri
            Dalam pencarian saya, saya dicerahkan oleh tulisan John Stott, yang pernah dimuat di Christianity Today, salah satu literatur Kristen yang didirikan oleh Billy Graham, yang berpengaruh di Amerika bahkan mungkin di dunia. Dalam tulisannya “Am I supposed to love myself or hate myself?” John Stott menyatakan bahwa keberadaan diri manusia merupakan akibat dari peristiwa penciptaan (result of the Creation) dan peristiwa kejatuhan (result of the Fallen)
            Bagian diri yang tidak boleh dicintai adalah fallen self, sebaliknya bagian diri yang harus dicintai adalah creation self. Fallen self harus dibuang jauh-jauh, disingkirkan dan disalibkan setiap hari. Sedangkan Creation self harus dicintai, dirangkul dan ditumbuhkan dari hari kehari. Creation Self itulah buah Roh yang harus ditumbuhkan dalam diri kita: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri.


Download powerpoint disini







[1]Nick Pontikis dalam ECHO & NARCISSUS: A SAD LOVE STORY di website http://mythman.com/echo02.html. Bandingkan dengan tulisan Mark Cartwright dalam Narcissus di website https://www.ancient.eu/Narcissus/. Menurut Mark, kisah kutukan Dewi Artemis terhadap Narcissus berbeda dari mitos aslinya.
[2]The whole list of characteristics that portrays the human mind can be reduced to one contrast: love of self instead of love of God. In between those two, Paul gives us a list consisting of seventeen vices that merit individual consideration (http://www.bible-commentaries.com/source/johnschultz/BC_2_Timothy.pdf)
[3]Poliandri pernah dipraktekkan oleh kaum perempuan di dataran tinggi Himalaya, sebelah Utara India (https://m.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/10/14/mbvocb-inilah-lima-tempat-di-dunia-yang-didominasi-perempuan)

Support Blog

Support blog ini dengan subscribe Channel Youtube Victor Sumua Sanga dengan klik tombol di bawah: