Bertumbuh dalam Komunitas (Efesus 4:11-12)

(dimuat dalam Athalia Learning Community (ALC) News, Edisi September 2024)


“Dan Ialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar, untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus.”


Angela Duckworth tumbuh dan dibesarkan di dalam keluarga dengan seorang ayah yang meragukan kompetensi intelektual anak-anaknya. Sang ayah dalam berbagai kesempatan dan momen mengatakan kepada Angela, “kamu bukan orang jenius.” Jauh di dalam lubuk hatinya Angela ingin berkata, “Ayah bilang saya bukan orang jenius dan saya tidak membantahnya. Tapi ada satu hal yang ingin saya katakan. Saya akan tumbuh dewasa dengan perasaan cinta terhadap apa yang saya lakukan. Saya akan menantang diri saya sendiri setiap hari. Bila terpukul roboh, saya akan bangkit kembali. Saya mungkin bukan orang yang paling pintar di satu komunitas, tapi saya menjuang menjadi orang yang paling tabah.” Menariknya, dalam perjalanan hidupnya, Angela Duckworth pernah meraih beasiswa MacArthur, beasiswa yang sering disebut “Genius Grant.” 


Ide, pemikiran dan penelitian tentang pengaruh ketabahan untuk mendukung pertumbuhan diri disarikan oleh Angela Duckworth dalam bukunya berjudul GRIT, salah satu buku terlaris dunia. Angela menyatakan bahwa grit (ketabahan) bisa ditumbuhkan melalui empat hal: minat (interest), latihan (practice), tujuan (purpose), dan harapan (hope). Ketika membahas tentang minat, Angela menyatakan hal yang penting bahwa, “minat akan berkembang bila ada dorongan dari beberapa pendukung, termasuk orangtua, guru, pelatih, dan rekan. Mereka memberikan dorongan berkelanjutan dan informasi penting yang membuat Anda semakin menyukai sesuatu.” Kalimat ini dengan tepat menunjukkan bagaimana sebuah komunitas berperan penting dalam membangun minat, minat membangun ketabahan, dan ketabahan mengoptimalkan pertumbuhan diri.


Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Efesus menyatakan bahwa Allah memberikan “baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar, untuk memperlengkapi orang-orang kudus.” Siapa mereka ini bagi komunitas Kristen? Mereka adalah orangtua, guru-guru, rohaniwan, para sahabat, rekan sepelayanan, yang Allah tempatkan di sekitar untuk memperlengkapi kita menemukan dan menekuni panggilanNya untuk melayani Tuhan dan sesama.


Bagian firman Tuhan ini mengingatkan orangtua dan guru untuk memanfaatkan setiap momen dan ruang-ruang perjumpaan untuk memberikan informasi sekaligus inspirasi pertumbuhan diri anak-anak dalam pengasuhan kita. Sayangnya, beberapa anak justru tidak mendapat inspirasi melainkan intimidasi dalam perjalanan pertumbuhan mereka. Pengalaman ini menjadi hambatan dan batu sandungan bagi anak-anak dalam upaya mereka menemukan dan menekuni panggilan Tuhan. Bagian firman Tuhan ini juga mengingatkan anak-anak untuk mengucap syukur kepada Allah dan berterima kasih atas kehadiran para penolong dalam pertumbuhan hidup mereka. Dukungan dan kehadiran para penolong di sekitar ini sering kali kurang dihargai, take it for granted, tidak lagi disyukuri, tidak terpikir untuk berterima kasih lagi. Ada yang mengatakan, “kehilangan akan membuktikan keberhargaan suatu kehadiran,” tetapi semoga kita tidak harus mengalami kehilangan lebih dulu untuk bisa menyadari kehadiran para penolong di sekitar kita.

Bahasa Sebagai Alat Karya Allah (Kejadian 11:9 dan Kisah Para Rasul 2:11)

(dimuat dalam Athalia Learning Community (ALC) News, Edisi Oktober 2024)


Sitti Soendari dengan terbata-taba berpidato dalam bahasa Indonesia pada kongres perempuan nasionalis. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang ia pelajari dalam kurun waktu dua bulan. Ia sengaja memilih menggunakan bahasa Indonesia dalam pidatonya alih-alih menggunakan bahasa Jawa, bahasa ibunya, atau bahasa Belanda, bahasa dunia intelektualnya. Ia memilih menggunakan bahasa Indonesia sebagai simbol komitmennya terhadap cita-cita politik yang dinyatakan dalam peristiwa bersejarah Sumpah Pemuda, “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Komitmen seperti ini menandai semangat persatuan dalam berbagai gerakan kepemudaan pada tahun 1928 dan setelahnya [1]. Semangat persatuan dan komitmen kebangsaan tercermin jelas dalam sepenggal kisah seorang pemimpin muda Indonesia era 1928 yang memilih menggunakan bahasa Indonesia dalam pidato pentingnya.

Ada dua peristiwa menarik dalam Alkitab yang memiliki keterkaitan teologis dimana Allah menggunakan bahasa untuk menyatakan rencananya bagi umat-Nya. Peristiwa pertama adalah peristiwa menara Babel (Kej. 11:1-9). Awalnya manusia satu bahasa, satu logat. Tapi dengan kesatuan itu mereka menentang perintah Tuhan untuk menyebar ke seluruh bumi. Mereka tidak mau menyebar, mereka maunya kumpul dan membangun menara kabanggaan. Tuhan mengacaukan bahasa sehingga mereka tidak bisa saling memahami dan mereka akhirnya tersebar sesuai rencana Tuhan. Sejak hari itu, bahasa menjadi beragam dan keragaman itu membentuk identitas berbeda dan melahirkan etnik berbeda. Peristiwa kedua adalah peristiwa Pentakosta (Kis. 2:1-13). Pada peristiwa pentakosta, Roh Kudus memampukan para rasul untuk memberitakan perbuatan-perbuatan Allah kepada orang-orang yang berbeda bahasa dengan mereka, tanpa sebelumnya mempelajari bahasa tersebut. Di sini, perbuatan-perbuatan Allah yang besar diberitakan kepada orang yang berbeda bahasa dan budaya. 

Allah berulang kali dalam berbagai peristiwa memakai bahasa sebagai alat untuk menyatakan karya-Nya bagi umat manusia. Allah ingin kita memanfaatkan kemampuan berbahasa kita bukan untuk menentang kehendak Allah, bukan untuk mengeluarkan kata-kata yang kotor, bukan untuk membicarakan hal buruk tentang orang lain, bukan untuk memaki atau merendahkan sesama. Allah ingin bahasa dan kemampuan berbahasa kita untuk menceritakan kebaikan-Nya dalam hidup kita, untuk memuji kebesaran dan kemuliaan-Nya, untuk memberkati anak-anak kita, untuk mendoakan orang tua kita, menguatkan dan memotivasi orang yang tawar hati, memberitakan firman-Nya.


[1]  Foulcher, Keith. “Sumpah Pemuda: The Making and Meaning of a Symbol of Indonesian Nationhood.” Asian Studies Review 24, no. 3 (September 1, 2000): 377–410. https://doi.org/10.1080/10357820008713281.


Support Blog

Support blog ini dengan subscribe Channel Youtube Victor Sumua Sanga dengan klik tombol di bawah: