Amsal 17:1
Lebih baik sekerat
roti yang kering disertai dengan ketenteraman,
Dari pada makanan
daging serumah disertai dengan perbantahan
sumber: google.com |
Dari beberapa orang yang saya minta memilih,
tidak ada
yang memilih makanan daging serumah
disertai dengan perbantahan.
Daging Serumah serta Perbantahan
“Sebuah rumah atau bayit” sebenarnya bisa juga
merujuk pada sebuah istana. Istana yang penuh dengan daging. Dagingnya adalah daging dari hewan-hewan tambun yang disembelih. Ada versi
terjemahan melihat daging-daging
tersebut adalah daging yang dihidangkan dalam sebuah pesta perjamuan. Jadi kemungkinan yang dimaksud
adalah sebuah rumah, bahkan mungkin
istana, yang penuh dengan
daging-daging dari hewan tambun yang disajikan seperti dalam sebuah pesta
perjamuan.
Sedangkan perbantahan (kata dasar Ibraninya: rib) merujuk pada pertikaian keras, pendakwaan di pengadilan,
pertengkaran, perkelahian, bahkan peperangan. Dalam perbantahan, pihak yang terlibat
masing-masing merasa benar dan pihak yang lain pasti salah. Perbantahan adalah sebuah kondisi pertikaian dimana pihak yang terlibat di
dalamnya merasa benar sepenuhnya dan yang lain salah sepenuhnya.
Apa kaitan perbantahan dan sebuah
istana yang penuh dengan daging hewan tambun dalam sebuah pesta perjamuan?
sebuah
rumah, atau kemungkinan besar istana, yang penuh dengan daging hewan tambun merupakan simbol pencapaian
dalam hidup yang bisa menimbulkan perasaan
paling benar dari yang lain. Di istana itu ada
jabatan dan kekuasaan yang kerap membuat pemiliknya merasa paling benar. Di
tempat itu juga ada kekayaan, uang
banyak dan investasi besar yang seringkali membuat merasa paling benar. Di
sekitar meja pesta perjamuan berdiri para orang-orang
tua berpengalaman yang banyak makan asam dan garam yang kemudian merasa
tidak mungkin salah, dan harus dipatuhi. Daging hewan tambun itu disajikan bagi
orang-orang cerdas yang menempuh
pendidikan ditempat yang jauh, gelar tinggi
memastikan bahwa mereka selalu benar.
Pencapaian-pencapaian hidup inilah, baik itu
jabatan, kekayaan, pengalaman, gelar kerap membuat seseorang merasa selalu
benar. Dan ujungnya pada perbantahan.
Kata Ibrani rib (yang artinya perbantahan) merupakan kata yang menyusun kata meriba. Meriba adalah tempat dimana Tuhan
mengeluarkan air dari bukit batu. Pada peristiwa di Meriba, Israel telah mengalami banyak pencapaian. Semua kebutuhan di padang gurun terpenuhi, makan manna dan daging
puyuh, ada tiang awan dan tiang api. Padang gurun serasa melayani mereka.
Kemudian sebuah masalah timbul, karena
mereka kehabisan air minum.
Israel bertengkar dgn Musa dan Tuhan. Israel
merasa diri mereka benar bahkan yang
salah adalah Musa dan Tuhan. Mereka harus dilayani oleh Musa dan Tuhan. Tuhan
dan Musa salah karena membawa mereka keluar dari Mesir dan mengembara di padang
gurun dan menderita kehausan. Mereka menuduh Tuhan tidak ada melindungi mereka.
Realitanya, mereka mengembara 40 tahun karena mereka tidak percaya Allah
sanggup mengalahkan musuh mereka. Mereka lebih percaya pada 10 pengintai yang
menakuti mereka. Realitanya, mereka kemarin malam baru
saja makan daging burung puyuh dan paginya menerima manna dari Tuhan. Ada tiang
awan dan tiang api. Apakah TUhan tidak ada ditengah mereka?
Inilah ngerinya orang yang merasa diri
selalu benar, Tuhan pun bisa ia salahkan.
Refleksi Pribadi
Sebuah rumah yang memiliki banyak pencapaian,
berpotensi besar membawa pada perbantahan.
Sebuah rumah dengan orangtua
yang punya banyak pengalaman, yang merasa pengalamannya membuatnya selalu benar
, berpotensi melahirkan perbantahan. Anak selalu salah, anak selalu kurang bijaksana, keputusan orangtua yang harus selalu dipatuhi. anak yang tidak tahan di rumah itu, meskipun rumah itu penuh dengan
makanan, memilih meninggalkan rumah, lebih senang di luar rumah, sampai lupa
pulang. Kalau pun ada anak yang tetap tinggal di rumah, maka ia akan
mengalami depresi, tertekan.
Sebuah rumah dengan suami yang merasa dirinya
selalu benar, karena ia sudah bekerja menghasilkan banyak uang. Kemudian isteri
juga merasa paling benar karena telah
mengatur seisi rumah sehingga berjalan harmonis, isteri telah berjasa besar mengasuh anak-anak. Suami merasa isterinya salah karena tidak
tunduk kepada suami, isteri merasa
suaminya yang salah karena tidak mengasihi isterinya, seperti Kristus. Kalau begini keadaannya, perbantahan demi
perbantahan akan terjadi. Tidak heran suami yang mulai kesal, lebih memilih lembur atau pulang kerja ke kebun lagi dari pada harus bertemu dengan isteri
yang tidak tunduk pada suami. Isteri yang mulai bosan menghadapi suami yang
selalu merasa benar. Mulai mencari
aktivitas luar rumah, arisan,
PKK, mungkin
juga ibadah rumah tangga, KW. Tujuannya supaya tidak bertemu dengan suami yang merasa selalu benar.
Lalu apakah artinya semua pencapaian-pencapaian
itu, apa artinya rumah megah jika
penghuninya tidak nyaman tinggal? Apa artinya makanan enak jika ditelan dengan kemarahan, depresi,
perbantahan?
ITULAH sebabnya hampir semua orang yang jika disuruh pilih: sekerat roti dengan ketenteraman atau sebuah
rumah penuh daging disertai perbantahan, maka tidak ada yang mau memilih
pilihan kedua. Karena seperti itulah
dampaknya.
Sekerat Roti Kering disertai Ketentraman
Menariknya, orang yang diminta memilih –
sekerat roti kering disertai ketentraman atau sebuah rumah yang penuh dengan
daging disertai perbantahan – sedikit juga yang memilih sekerat roti kering
disertai ketenteraman. Kebanyakan membuat dan memilih opsi sendiri: sebuah rumah yang penuh dengan daging disertai ketenteraman.
Hal yang sulit diterima adalah “sekerat roti kering.” Rotinya tinggal
sekerat, sesobek. Rotinya juga sudah kering, artinya itu roti sisa yang
disimpan karena tidak ada lagi roti baru. Di dalam sekerat roti kering, ada gambaran kemiskinan bukan kekayaan, ada
gambaran keterbatasan bukannya pengalaman dan kemampuan yang banyak, ada
gambaran kehampaan bukannya kekuasaan dan jabatan, ada cerminan kebodohan
bukannya kecerdasan dari gelar yang tinggi.
Sedangkan ketentraman bermakna damai dan tenang. Damai bukan berarti tidak
perbedaan, melainkan perbedaan membuat kedua belah pihak tidak dirugikan. Tenang bukan berarti tidak
ada gejolak, tetapi gejolak itu berhasil diredam.
Mengapa salomo menyandingkan sekerat roti kering dengan ketenteraman? Sekerat roti kering bukanlah salah satu
melainkan satu-satunya opsi mencapai ketenteraman.
Hanya dengan kerelaan makan sekerat roti
kering, maka damai dan tenang bisa
diraih.
Hanya orang rela nampak miskin, kendatipun
kaya, yang bisa mengusahakan damai dan tenang itu. Hanya orang yang rela nampak
terbatas, kendatipun banyak pengalaman, yang bisa mengusahakan ketenteraman.
Hanya orang yang nampak hampa, kendatipun memegang jabatan dan posisi penting,
yang bisa membawa ketenteraman. Hanya
orang yang rela nampak bodoh, kendatipun gelar dan pendidikan mumpuni, yang
bisa mengusahakan kedamaian dan ketenangan.
Semakin kita menolak sekerat roti kering itu, semakin jauh kita dari ketenteraman. Inilah arti
“mengosongkan diri dan mengambil rupa seorang hamba” yang dilakukan oleh
Kristus. Yesus yang mempunyai kemuliaan ilahi, berkenan melayani ciptaannya; Ia yang harusnya ditinggikan di atas
singgasana raja, memilih ditinggikan di
atas tiang salib sebagai penjahat demi
mengusahakan ketenteraman. Yesus yang maha tahu rela dianggap tidak tahu apa
apa dan bahkan dianggap orang gila, demi tugas pendamaiannya. Yesus yang memiliki segalanya, NAMUN rela lahir di kandang domba, dalam pelayanannya tidak punya
tempat meletakkan kepala, bahkan dikubur di kuburan pinjaman, demi menenangkan murka Allah atas hidup
kita. Rela makan sekerat roti kering berarti meniru teladan Yesus.
Refleksi Pribadi
Sebuah rumah yang penghuninya rela makan sekerat roti kering adalah keluarga
bergerak menuju ketenteraman. Suami, isteri, orangtua dan anak yang mau
merendahkan hati dan menganggap dirinya tidak selalu benar dan bisa saja
melakukan kesalahan. Belajar mendengar daripada didengar, melayani daripada
dilayani, niscaya ada kedamaian dan
ketenangan dalam rumah. Rumah itu dirindukan oleh penghuninya: bukan lagi
sebagai house tetapi home.
Gereja dalam hal ini harus memberi teladan. Jika Mulai dari pendeta sampai
jemaat rela makan sekerat roti kering,
maka ada ketenteraman di gereja. Bagaimana
mungkin ada ketenteraman jika pendeta
merasa selalu benar? Bagaimana ada damai jika Majelis tidak mau mengalah, merasa punya pengalaman melayani, bertahun-tahun
jadi majelis, maka ia pasti paling benar? Belum lagi jika Donatur gereja yang bicara, merasa suaranya seperti suara Tuhan,
selalu harus ditaati. Apa lagi kalau pemegang
kekuasaan di pemerintahan atau perusahaan, gereja dibuat seperti organisasi
top-down, semua harus ikut kata bos. Kalau semua itu sudah ketemu, terjadilah
perbantahan.
Saya berdoa supaya gereja dan keluarga Kristen
bersatu dan merendahkan diri meniru Kristus. Lebih baik sekerat roti yang kering disertai dengan ketenteraman, Dari
pada sebuah rumah yang dipenuhi daging disertai dengan perbantahan. Amin.