Panggilan menjadi hamba bukan hal
yang mudah di tengah lingkungan yang penuh dengan egoisme. Ada yang mengatakan
ciri orang egois adalah:
1. Hanya dapat melihat dari sudut
pandangnya; tidak dapat melihat dari sudut pandang orang lain, apalagi
merasakan apa yang orang lain rasakan. Jadi, tidak mudah untuk berdiskusi
dengannya karena ia akan berusaha keras agar kita menuruti pendapatnya.
2. Hanya memikirkan kepentingan
pribadinya; jadi, apa yang dikerjakannya selalu untuk kepentingan pribadi,
bukan murni untuk kepentingan orang lain. Ia tidak mengenal makna pengorbanan
dan ketulusan; semua hal diperhitungkan berdasarkan untung-ruginya.
sumber: google.com |
Kalau berbicara mengenai status,
ada suatu frasa yang sangat penting yaitu yang sering diulang-ulang oleh Paulus
yaitu en Christo yang diterjemahkan ”dalam
Kristus” di ayat 1. Sebagai orang-orang yang ada di dalam Kristus, kita bukan
hanya mendapatkan insentif atau berkat, seperti kekuatan dan penghiburan dari
Tuhan, bukan hanya bersekutu dalam Roh dan mengalami kasih mesra dan belas kasihan,
tetapi juga mempunyai tanggung jawab untuk sehati sepikir, mementingkan
kepentingan orang lain dan menjadi hamba atau pelayan sesama. Paulus jelas mengatakan sukacitanya belumlah
sempurna jikalau jemaat Filipi belum menjadi hamba bagi sesamanya di dalam
Kristus.
Status hamba Kristus untuk melayani
sesama manusia sangat berbeda dengan menjadi hamba manusia. Hamba Tuhan untuk
melayani sesama manusia tidak sama dengan menjadi hamba manusia. Di mana letak
perbedaannya? Perbedaannya terletak pada pikiran dan perasaan siapa yang
memenuhi sang hamba. Pada ayat 5
dikatakan, “hendaklah kamu dalam hidupmu bersama menaruh pikiran dan perasaan
yang terdapat juga dalam Kristus Yesus.”
Jika pikiran dan perasaan Kristus memenuhi kita maka kita adalah hamba Kristus
yang dipanggil untuk melayani sesama.
Tetapi jika pikiran kita dipenuhi oleh pikiran dan perasaan manusia maka
kita adalah hamba manusia.
Ini membuat kita memahami maksud tulisan
Paulus yang paradoks di 1Kor. 7:23 dan 1Kor 9:19. Pada 1Kor 7:23, Paulus
mengatakan, “Kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar. Karena itu
janganlah kamu menjadi hamba manusia.” Tetapi di 1Kor. 9:19 Paulus
mengatakan “sungguhpun aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan diriku
hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang.” Ketika Paulus menempatkan dirinya menjadi
hamba semua orang, ia memiliki pikiran Kristus untuk menjangkau banyak orang
bagi Kristus.
Alasan kedua mengapa kita harus
menjadi hamba bagi sesama adalah karena Kristus memberi teladan kehidupan yang menghamba kepada kita.
Kristus sendiri telah manjadi hamba karena itu
kita juga harus mengikuti teladan Kristus. Kalau memperhatikan ayat 5-7, Yesus
bukan hanya menjadi hamba seperti manusia, bahkan lebih rendah daripada hamba
karena Ia mati disalib, kematian yang paling terkutuk dalam budaya pada masa
itu. Yesus menjadi manusia saja sudah merupakan perendahan diri yang luar
biasa, apalagi jika Ia mati terkutuk karena manusia. Yesus menjadi hambanya
hamba.
Salah tokoh dunia yang perlu diteladani
kerendahan hatinya adalah Gandhi. Gandhi sebenarnya pengagum Yesus. Gandhi mengatakan bahwa seandainya
Kekristenan benar-benar serupa dengan Yesus, maka ia akan menjadi Kristen. Gandhi punya pengalaman pahit dengan
orang-orang Kristen. Ia pernah ditolak
oleh gereja karena masalah rasial. Meski
demikian Gandhi sangat menghormati Yesus dan mengikuti teladanNya, ia tidak
ingin menjadi orang Kristen. Ia
menganggap orang Kristen tidak mengikuti teladan Yesus.
Gandhi
adalah tokoh sangat inspiratif di India.
Ia diberi gelar “mahatma” karena pengaruhnya yang luar biasa di India. ‘mahatma’
artinya berjiwa besar. Ia adalah tokoh pejuang anti kekerasan dan berperan
penting dalam menghapuskan sistem kasta yang sangat buruk di India.
Di
India, ada suatu kasta yang sangat rendah disebut kasta paria. Kasta paria dianggap kasta yang
terkutuk. Pekerjaan mereka tidak lebih
dari penyapu jalan dan pengumpul sampah pada waktu itu. Orang-orang India sangat menjauhi kasta ini
dan tak ada yang mau berinteraksi dengan mereka. Bahkan jikalau mereka terkena
bayangan orang kasta paria, mereka harus melalui serangkaian penyucian supaya
tahir.
Gandhi
sangat sedih dengan kenyataan ini. Ia
meninggalkan pekerjaannya sebagai lawyer di Afsel dan datang ke India. Ketika sampai di India, ia memilih tinggal
bersama kasta paria bahkan setiap hari ia bekerja untuk kasta ini. Tercatat bahwa ia bahkan membersihkan kakus
atau toilet orang kasta paria. Ia merendahkan
dirinya sedemikian rupa dan mengilhami orang-orang India untuk menghapuskan
sistem kasta yang biadab itu.
Ia
bukan orang Kristen, hanya pengagum Kristus.
Tetapi bisakah kita yang pengikut Kristus ini melakukan hal yang sama
bahkan lebih? Kita dipanggil untuk menjadi hamba Kristus yang melayani sesama
dan mengikuti teladan Kristus.
bagaimanakah menjadi hamba bagi sesama?
Menjadi
hamba apakah berarti mengambil profesi sebagai pembantu RT? Menjadi cleaning servis? Atau bagaimana?
Bagaimana seorang ayah yang menjadi hamba bagi anaknya? Suami menjadi hamba
bagi isterinya? Pendeta dan Majelis menjadi hamba bagi gereja? Bagaimana?
Dalam
bacaan kita ada dua kata Yunani yang mempunyai implikasi yang bertolak
belakang. Pertama kata eritheian yang diterjemahkan sebagai
“kepentingan sendiri” di ayat 3. Eritheian
berasal dari kata Yunani erithos yang
berarti ‘buruh harian.’ Dan kata kedua adalah doulos yang diterjemahkan “hamba atau budak” di ayat 7. Kalau buruh harian bekerja untuk dapat upah
diakhir pekerjaannya, sedangkan hamba tidak diberi upah. Buruh harian punya hak, tetapi hamba tidak
punya hak.
Inilah
yang Kristus rindukan kita miliki. Hati
hamba bukan hati buruh harian. Buruh
harian bekerja karena ada kepentingannya sendiri yang ia cari. Ia pada dasarnya bekerja untuk kepentingannya
sendiri. Kalau ia tidak mendapatkan haknya, ia akan marah dan protes. Hamba berbeda 180 derajad. Seorang hamba
bekerja bukan supaya ia mendapatkan upah, tetapi karena ia adalah milik
Tuannya. Hidupnya ada di tangan tuannya dan mengabdi hanya untuk tuannya.
Dalam
budaya kuno Toraja dikenal juga sistem tuan budak. Kalau seseorang meninggal,
dipercaya sistem ini tetap berlaku. Kalau umumnya orang toraja meninggal
biasanya disembelih hewan, biasanya kerbau. Semakin tinggi strata sosial orang
Toraja semakin banyak hewan yang dikurbankan.
Hewan yang mati ini dipercaya menjadi “bekal” bagi orang yang meninggal
tersebut. Yang mengerikannya, pada strata sosial paling tinggi di masyarakat
kuno Toraja, yang biasanya diduduki oleh para kesatria atau pahlawan Toraja,
ketika mereka maniggal dunia, budak atau hamba mereka juga ikut dikurbankan
ketika tuannya mati. Karena menurut
kepercayaan kuno Toraja, budak ini juga melayani tuannya setelah kematian. Tapi nggak usah kuatir sekarang sudah tidak
ada. Itu sangat langka. Ada dugaan salah satu pahlawan Toraja Pong
Tiku, ketika meninggal, hambanya ikut dibunuh.
Itu hanya dugaan. Tetapi budaya
itu tercatat dalam ritual kuno Toraja.
Saudara
yang dikasihi Tuhan, kalau melihat kehidupan Kristus selama menghambakan diri
di dunia. Konsep tuan dan hamba melekat
kuat dalam diriNya. Ia adalah hamba Allah yang dipilih untuk melayani manusia. Kesadaran ini membuatNya tetap setia di dalam
menghadapi penderitaan dan
kematian. Ia mengabdi sepenuhnya kepada
Allah.
Kalau
kita berpikir sejenak apakah ada motivasi dibalik perhambaan diri Kristus? Apa alasan Yesus mau datang ke dunia,
menderita, mati untuk manusia? Apakah Dia mencari “nama di atas segala nama,”
apakah ia mencari kemuliaan, apa yang Kristus dapatkan dengan tindakanNya itu?
Ia telah memiliki segalaNya. Ia tidak
kekurangan apa pun. Ia sempurna dan
tidak membutuhkan atau bergantung pada apa pun. Ia melakukan semuanya karena
itu kehendak BapaNya. Ia bukan berharap sesuatu dari kita, tetapi justru Ia
memberi kepada kita dengan tidak terbatas.
Menjadi hamba berarti melayani
dengan tulus, tanpa mengharapkan balasan apa pun. Menjadi hamba berarti memberi, memberi dan
memberi. Seorang ayah atau suami yang
menjadi hamba bagi anak dan isterinya berarti melayani tanpa menuntut balasan
apa pun. Melayani karena itu kehendak
Allah. Jika kita mulai sering marah atau protes di rumah, coba selidiki mungkin
kita tidak menjadi hamba bagi keluarga kita lagi, tetapi menjadi buruh harian
yang menuntut haknya dipenuhi.
Bukan hanya di rumah kita dipanggil
menjadi hamba, tetapi juga di gereja. Apakah semua orang yang terlibat
pelayanan di gereja semua memiliki mati hamba? Belum tentu. Ada yang melayani karena di rumah tidak ada
kegiatan atau untuk mengisi kekosongan. Begitu ada kegiatan lainnya, pelayanan
di gereja begitu mudah digantikan dan ditinggalkan. Banyak pendeta yang berpindah-pindah ladang
pelayanan karena tidak mendapat tunjangan yang memadai, siapa yang salah?
Tidak sedikit gereja yang dikelola
dengan prinsip bisnis. Tidak melayani
jemaat yang tidak memberi keuntungan bagi gereja. Tidak sedikit juga jemaat
yang menjadikan gereja sebagai tempat hiburan.
Kalau tidak menghibur atau mengecewakan pelayanannya, maka gereja
ditinggalkan. Sekali lagi saudara, kalau kita sudah terlalu banyak protes dan
menuntut, mari dengan rendah hati kita evaluasi diri, mungkin kita sudah jadi
buruh harian bukan lagi hamba?
Pertanyaannya, mungkinkah kita
menjadi hamba bagi sesama kita? Mungkin.
Ketika kita menyadari status kita sebagai hamba Allah yang dipanggil
melayani sesama. Itu mungkin ketika kita
menyadari bahwa Kristus telah memberi teladan itu. Menjadi hamba bagi sesama mungkin jika kita
melayani tanpa pamrih dan motif untuk kepentingan diri melainkan semata-mata
kepentingan Kristus, Tuan
kita.
download powerpoint disini