Akulah Kebangkitan dan Hidup (Yohanes 11:1-44)

PENDAHULUAN

Shalom jemaat Tuhan, Selamat Paskah 2022, Selamat merayakan kebangkitan Tuhan kita Yesus Kristus. Dalam perayaan Paskah ini kita akan merenungkan tema “Akulah Kebangkitan dan Hidup.” Akulah Kebangkitan dan Hidup merupakan pengakuan Tuhan Yesus dalam peristiwa dimana Ia membangkitkan Lazarus dari kematian. Kita akan merenungkan bersama peristiwa tersebut dan menemukan makna paskah bagi kita di tahun ini. Bagian firman Tuhan yang akan kita baca tertulis dalam Yohanes 11:1-44. Ayatnya cukup panjang. Awalnya saya ingin baca beberapa ayat saja, tetapi rupanya banyak kata-kata kunci yang sayang jika dilangkahi. Oleh karena itu kita baca ayatnya secara keseluruhan.


1 Ada seorang yang sedang sakit, namanya Lazarus. Ia tinggal di Betania, kampung Maria dan adiknya Marta. 2 Maria ialah perempuan yang pernah meminyaki kaki Tuhan dengan minyak mur dan menyekanya dengan rambutnya. 3 Dan Lazarus yang sakit itu adalah saudaranya. Kedua perempuan itu mengirim kabar kepada Yesus: ”Tuhan, dia yang Engkau kasihi, sakit.” 4 Ketika Yesus mendengar kabar itu, Ia berkata: ”Penyakit itu tidak akan membawa kematian, tetapi akan menyatakan kemuliaan Allah, sebab oleh penyakit itu Anak Allah akan dimuliakan.” 5 Yesus memang mengasihi Marta dan kakaknya dan Lazarus. 6 Namun setelah didengar-Nya, bahwa Lazarus sakit, Ia sengaja tinggal dua hari lagi di tempat, di mana Ia berada; 7 tetapi sesudah itu Ia berkata kepada murid-murid-Nya: ”Mari kita kembali lagi ke Yudea.” 8 Murid-murid itu berkata kepada-Nya: ”Rabi, baru-baru ini orang-orang Yahudi mencoba melempari Engkau, masih maukah Engkau kembali ke sana?” 9 Jawab Yesus: ”Bukankah ada dua belas jam dalam satu hari? Siapa yang berjalan pada siang hari, kakinya tidak terantuk, karena ia melihat terang dunia ini. 10 Tetapi jikalau seorang berjalan pada malam hari, kakinya terantuk, karena terang tidak ada di dalam dirinya.” 11 Demikianlah perkataan-Nya, dan sesudah itu Ia berkata kepada mereka: ”Lazarus, saudara kita, telah tertidur, tetapi Aku pergi ke sana untuk membangunkan dia dari tidurnya.” 12 Maka kata murid-murid itu kepada-Nya: ”Tuhan, jikalau ia tertidur, ia akan sembuh.” 13 Tetapi maksud Yesus ialah tertidur dalam arti mati, sedangkan sangka mereka Yesus berkata tentang tertidur dalam arti biasa. 14 Karena itu Yesus berkata dengan terus terang: ”Lazarus sudah mati; 15 tetapi syukurlah Aku tidak hadir pada waktu itu, sebab demikian lebih baik bagimu, supaya kamu dapat belajar percaya. Marilah kita pergi sekarang kepadanya.” 16 Lalu Tomas, yang disebut Didimus, berkata kepada teman-temannya, yaitu murid-murid yang lain: ”Marilah kita pergi juga untuk mati bersama-sama dengan Dia.”

17 Maka ketika Yesus tiba, didapati-Nya Lazarus telah empat hari berbaring di dalam kubur. 18 Betania terletak dekat Yerusalem, kira-kira dua mil jauhnya. 19 Di situ banyak orang Yahudi telah datang kepada Marta dan Maria untuk menghibur mereka berhubung dengan kematian saudaranya. 20 Ketika Marta mendengar, bahwa Yesus datang, ia pergi mendapatkan-Nya. Tetapi Maria tinggal di rumah. 21 Maka kata Marta kepada Yesus: ”Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati. 22 Tetapi sekarang pun aku tahu, bahwa Allah akan memberikan kepada-Mu segala sesuatu yang Engkau minta kepada-Nya.” 23 Kata Yesus kepada Marta: ”Saudaramu akan bangkit.” 24 Kata Marta kepada-Nya: ”Aku tahu bahwa ia akan bangkit pada waktu orang-orang bangkit pada akhir zaman.” 25 Jawab Yesus: ”Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, 26 dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya. Percayakah engkau akan hal ini?” 27 Jawab Marta: ”Ya, Tuhan, aku percaya, bahwa Engkaulah Mesias, Anak Allah, Dia yang akan datang ke dalam dunia.” 28 Dan sesudah berkata demikian ia pergi memanggil saudaranya Maria dan berbisik kepadanya: ”Guru ada di sana dan Ia memanggil engkau.” 29 Mendengar itu Maria segera bangkit lalu pergi mendapatkan Yesus. 30 Tetapi waktu itu Yesus belum sampai ke dalam kampung itu. Ia masih berada di tempat Marta menjumpai Dia. 31 Ketika orang-orang Yahudi yang bersama-sama dengan Maria di rumah itu untuk menghiburnya, melihat bahwa Maria segera bangkit dan pergi ke luar, mereka mengikutinya, karena mereka menyangka bahwa ia pergi ke kubur untuk meratap di situ. 32 Setibanya Maria di tempat Yesus berada dan melihat Dia, tersungkurlah ia di depan kaki-Nya dan berkata kepada-Nya: ”Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati.”

33 Ketika Yesus melihat Maria menangis dan juga orang-orang Yahudi yang datang bersama-sama dia, maka masygullah hati-Nya. Ia sangat terharu dan berkata: 34 ”Di manakah dia kamu baringkan?” Jawab mereka: ”Tuhan, marilah dan lihatlah!” 35 Maka menangislah Yesus. 36 Kata orang-orang Yahudi: ”Lihatlah, betapa kasih-Nya kepadanya!” 37 Tetapi beberapa orang di antaranya berkata: ”Ia yang memelekkan mata orang buta, tidak sanggupkah Ia bertindak, sehingga orang ini tidak mati?” 38 Maka masygullah pula hati Yesus, lalu Ia pergi ke kubur itu. Kubur itu adalah sebuah gua yang ditutup dengan batu. 39 Kata Yesus: ”Angkat batu itu!” Marta, saudara orang yang meninggal itu, berkata kepada-Nya: ”Tuhan, ia sudah berbau, sebab sudah empat hari ia mati.” 40 Jawab Yesus: ”Bukankah sudah Kukatakan kepadamu: Jikalau engkau percaya engkau akan melihat kemuliaan Allah?” 41 Maka mereka mengangkat batu itu. Lalu Yesus menengadah ke atas dan berkata: ”Bapa, Aku mengucap syukur kepada-Mu, karena Engkau telah mendengarkan Aku. 42 Aku tahu, bahwa Engkau selalu mendengarkan Aku, tetapi oleh karena orang banyak yang berdiri di sini mengelilingi Aku, Aku mengatakannya, supaya mereka percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.” 43 Dan sesudah berkata demikian, berserulah Ia dengan suara keras: ”Lazarus, marilah ke luar!” 44 Orang yang telah mati itu datang ke luar, kaki dan tangannya masih terikat dengan kain kapan dan mukanya tertutup dengan kain peluh. Kata Yesus kepada mereka: ”Bukalah kain-kain itu dan biarkan ia pergi.” 45 Banyak di antara orang-orang Yahudi yang datang melawat Maria dan yang menyaksikan sendiri apa yang telah dibuat Yesus, percaya kepada-Nya.


Demikianlah firman Tuhan berbahagialah kita yang mendengar dan melakukan firman dalam kehidupan kita


Sherwin B. Nuland

Ada seorang bernama Sherwin B. Nuland (1930-2014), ia adalah seorang ahli bedah yang berpraktik selama 30 tahun dan merawat lebih dari 10.000 pasien — kemudian menjadi penulis dan pembicara tentang topik hidup dan mati. Nuland menulis sebuah buku yang laris pada masanya berjudul How We Die, bagaimana kita mati. Buku ini menggambarkan kematian secara klinis dan biologis seperti bagaimana itu terlihat dan dirasakan oleh orang yang mengalaminya. Kematian itu ditandai dengan berhentinya sirkulasi darah, oksigen dan kerja organ vital (jantung, otak dan paru-paru). Itu digambarkan dalam buku Nuland. Yang menarik bagi saya adalah ada satu bab tentang renungan atau refleksi dia tentang kematian.

Paling tidak ada 2 renungan yang saya tangkap dari pandangan Nuland ini: 

  • Pertama, renungan bagi setiap kita. Jangan biarkan diri kita atau orang yang kita kasihi “mati sendirian.” Mati sendirian itu artinya mati tanpa mengetahui bahwa kehidupannya bermakna bagi orang lain. Seringkali orang dibiarkan mati sendiri dengan enggan membicarakan kematian dan pura-pura berjalan biasa. Nuland punya pengalaman dalam hal ini. Ia punya tante yang sangat mengasihi dia dan saudaranya. Tante ini yang merawat mereka sejak sejak orangtuanya meninggal. Tantenya ini menderita kanker kronis dan sedang menghadapi kematian. Tantenya sudah tahu itu, mereka juga sudah tahu itu, tetapi mereka tidak mau membicarakannya. Mereka seperti bermain sandiwara tahu-tidak tahu, sampai akhirnya tantenya meninggal. Dalam hal ini, tantenya “mati sendirian”. Menurut Nuland seharusnya ada saat dimana mereka membicarakan kematian itu secara terbuka sebagai keluarga dan menegaskan bahwa sang tante telah memberikan kehidupan yang bermakna bagi Nuland dan saudaranya. Dengan begitu sang tante dapat meninggal dengan kesadaran bahwa hidupnya bermakna, yang artinya ia tidak mati sendirian.

  • Kedua, renungan bagi para dokter. Setiap kali ada pasien yang meninggal, sang dokter diingatkan bahwa mereka tidak dapat mengendalikan kekuatan alami, dan kekuatan alami yang paling menakutkan adalah kematian. Tidak ada yang bisa mengendalikan kematian. Itulah Refleksi Nuland. 


PENYATAAN POIN

Hari ini kita belajar 2 hal dari tema Akulah kebangkitan dan Hidup. Pertama kita belajar bahwa Tuhan Yesus menyatakan kuasa dan kemuliaanNya atas kematian, sebagai peristiwa yang paling membuat manusia tidak berdaya. Kedua kita belajar cara melihat kemuliaan Tuhan Yesus dalam berbagai peristiwa kehidupan yang kita alami.


TUHAN YESUS MENYATAKAN KEMULIAANNYA ATAS KEMATIAN

Kematian menghentikan semua daya dan upaya manusia, tetapi Tuhan tidak. Di ay 4 Tuhan Yesus menyatakan bahwa penyakit yang diderita oleh Lazarus akan memuliakan nama Allah. Lazarus yang sakit, meninggal dan kemudian dibangkitkan menjadi penyataan kemuliaan Allah yang luar biasa dan itu membuat banyak orang menjadi percaya. Peristiwa Yesus membangkitkan Lazarus merupakan salah satu dari 7 tanda penting yang menyatakan kemuliaan Tuhan Yesus: 

First Sign — Water into Wine (2:1-11) Interlude (2:12)

Second Sign — Healing the Nobleman's Son - pegawai istana (4:46-54)

Third Sign — The Healing of the Lame Man (5:1-18)

Fourth Sign — Feeding the Multitude (6:1-15)

Fifth Sign — Walking on the Water (6:16-21)

Sixth Sign — Healing the Man Born Blind (9:1-41)

Seventh Sign — The Raising of Lazarus (11:1-57)

Seorang Penafsir menyatakan bahwa dari ketujuh tanda ini, Kebangkitan Lazarus yang paling signifikan karena banyak orang Yahudi yang menjadi percaya (Yohanes 12:9-11).

Dari ke-enam tanda sebelumnya, semua masih berurusan dengan orang yang hidup yang mengalami ketidakberdayaan. Tetapi tanda ketujuh ini sudah berhubungan dengan orang yang mati. Seperti halnya dokter Nuland, Orang Yahudi sadar bahwa kematian paling membuat manusia tidak berdaya.

Ay. 21 dan 32 perkataan Marta dan Maria persis sama, “Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati.” Di dalam pikiran mereka jika Tuhan Yesus hadir sebelum Lazarus meninggal, maka Tuhan Yesus akan menyembuhkan Lazarus dari sakitnya dan sakit itu tidak membawa kematian. Pikirnya Tuhan Yesus juga tak berdaya menghadapi kematian.

Marta dan Maria berpikir bahwa area  dimana Yesus dapat menyatakan kemuliaan-nya hanya ketika  seorang masih hidup tetapi untuk kematian mungkin tidak. Dalam ketidakberdayaan manusia, Tuhan Yesus menyatakan identitasNya sebagai Allah. Dan karena itulah setelah peristiwa ini, Pemimpin Yahudi mulai merencanakan membunuh Tuhan Yesus dan bukan hanya Tuhan Yesus, tetapi juga Lazarus (Yohanes 12). 

Peristiwa Paskah yang kita peringati hari ini kian menegaskan kuasa Tuhan Yesus atas kematian, karena Ia sendiri bangkit dari kematian. Tetapi ada perbedaan kebangkitan Lazarus dengan kebangkitan Yesus. Lazarus dibangkitkan dan beberapa waktu kemudian meninggal lagi untuk menantikan kebangkitan pada akhir zaman. Kebangkitan Yesus adalah kebangkitan yang sulung atau pertama kali dimana rupa Tubuh Kekal itu dinyatakan. Tubuh Kekal itu tidak lagi tunduk pada kesakitan, kelemahan dan kematian. Sampai saat ini belum ada orang yang dibangkitkan dan memiliki Tubuh Kekal selain Tuhan Yesus, nanti saat Yesus datang kedua kalinya kita akan dibangkitkan dengan tubuh kekal itu. Kemuliaan Allah dengan sempurna dinyatakan dalam hidup kita saat kebangkitan pada akhir zaman nanti.

 

Aplikasi

Kisah kebangkitan Lazarus menunjukkan kepada kita bahwa kemuliaan Allah dapat dinyatakan dalam peristiwa dimana manusia paling tidak berdaya sekalipun yaitu kematian. Pertanyaannya bagi kita adalah apakah kita dapat melihat kemuliaan Allah dalam berbagai ketidakberdayaan di hidup kita? Seringkali kehidupan kita sudah kita buat kavling-kavling. Kita berpikir bahwa kemuliaan Allah hanya dapat dinyatakan dalam area/kavling tertentu saja, sementara di area kehidupan yang lain, kemuliaan Allah sudah tidak mungkin dinyatakan. Di Pekerjaan Tuhan menyatakan kemuliaanNya, tetapi di kehidupan Keluarga tidak, atau  sebaliknya. Mungkin juga kita berpikir Tuhan dapat menyatakan kemuliaanNya di urusan kesehatan saya, tetapi tidak mungkin mengatasi keberdosaan saya. Kita sudah buat blok-blok yang seperti membatasi kemuliaan Tuhan: Kehidupan Pribadi, Usaha, kesehatan, Pernikahan, kegagalan, Kejatuhan/Keberdosaan, dan lain-lain. Apakah ada blok-blok seperti itu dalam kehidupan kita?

Atau mungkin juga cara Tuhan dimuliakan itu kita yang tentukan. Seperti pikiran Marta dan Maria: Allah dimuliakan dengan menyembuhkan saudaranya. Dalam hal ini mungkin cara berpikir kita yang harus diubah: mungkin seharusnya kita bertanya, “Tuhan, bagaimana saya bisa memuliakanMu di dalam peristiwa-peristiwa hidup saya dimana saya tidak berdaya ini?” Bapak/ibu saudara yang dikasihi Tuhan, hari ini kita belajar bahwa Tuhan Yesus dapat menyatakan kemuliaan-Nya dalam peristiwa di mana manusia paling tidak berdaya. Karena itu, tidak mungkin ada bagian kehidupan kita yang tertutup di mana Allah tidak dapat atau tidak sanggup menyatakan kemuliaan-Nya.  Mari memiliki hati yang terbuka untuk Tuhan menyatakan kemuliaanNya dalam seluruh bagian hidup kita.


CARA MELIHAT KEMULIAAN TUHAN YESUS DALAM KEHIDUPAN KITA

Akulah kebangkitan dan hidup merupakan sebuah panggilan untuk melihat kemuliaan Allah dalam hidup kita. Mengapa kita sulit melihat kemuliaan Tuhan dalam kehidupan kita, adalah karena kita meragukan kuasa dan kasih Tuhan dalam ketidakberdayaan kita. Kisah Lazarus dibangkitkan merupakan sebuah kisah dimana kasih dan kuasa Tuhan Yesus dinyatakan.  Tuhan Yesus dinyatakan masygul hatiNya (ay. 33, 38), Ia sangat terharu (ay. 33), dan Ia menangis (ay. 35). Sampai orang-orang Yahudi yang hadir menyadari betapa Tuhan Yesus mengasihi Lazarus (ay. 36). Dan kuasa itu dinyatakan ketika Lazarus dibangkitkan (ay. 43-44) 

Hal yang diharapkan dari kita di tengah-tengah ketidakberdayaan kita adalah percaya.

Tuhan Yesus berkata, “Bukankah sudah Kukatakan kepadamu: Jikalau engkau percaya engkau akan melihat kemuliaan Allah?” (ay. 40). Apa artinya percaya? RC Sproul menyatakan ada 3 aspek dari percaya: tahu (notitia), terima (assensus), mempercayakan diri (fiducia). Tuhan Yesus memberitahu kepada Marta pada saat itu bahwa Lazarus akan Ia bangkitkan (ay. 23), Marta jadi tahu (notitia), Marta tidak serta-merta menerima (assensus) meski sudah diberitahu (notitia), karena itu Marta berkata, “Tuhan, ia sudah berbau, sebab sudah empat hari ia mati” (ay. 39). Karena itu Tuhan Yesus menegaskan bahwa mereka akan melihat kemuliaan Allah jika mereka percaya (tahu (notitia), terima (assensus), mempercayakan diri (fiducia)).  Tindakan mengangkat batu (ay. 41) merupakan tindakan yang mempercayakan diri (fiducia) kepada apa yang mereka tahu dan terima. Kepercayaan mereka membuat mereka melihat kemuliaan Allah. Bukan hanya itu saya kepercayaan yang timbul dalam peristiwa tersebut menguatkan keyakinan atau kepercayaan mereka akan identitas Yesus. Iman yang memimpin kepada Iman.  


Tujuan Injil Yohanes

Lebih jauh lagi, panggilan untuk percaya merupakan tujuan ditulisnya Injil Yohanes secara keseluruhan. Yohanes 20:30-31 (Maksudnya Injil ini dicatat) menyatakan, “30 Memang masih banyak tanda lain yang dibuat Yesus di depan mata murid-murid-Nya, yang tidak tercatat dalam kitab ini, 31 tetapi semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya.”


Perumpamaan tentang Penabur & Arti Percaya

Dalam kisah perumpamaan tentang seorang penabur dikisahkan ada benih yang jatuh di pinggir jalan dimakan burung dan diinjak orang. Ini gambaran orang yang tidak percaya mengasihi dan berkuasa atas hidupnya. Ia menolak pengetahuan dan kebenaran itu. Ada juga benih yang jatuh di tanah berbatu, bertumbuh sebentar lalu layu karena tidak berakar. Ini gambaran orang yang tahu (notitia) tetapi tidak menerima (assensus) bahwa Allah mengasihi dirinya dan kehidupannya. Orang ini tidak percaya Allah berkuasa mengubah hidupnya.  Ada lagi benih yang jatuh di semak duri. Bertumbuh sebentar tetapi terhimpit oleh semak duri itu. Ini menggambarkan orang yang tahu (notitia), terima (assensus) tetapi tidak mempercayakan diri (fiducia) kepada kasih dan kuasa Allah. Tidak ada tindakan-tindakan yang lahir dari percayanya. Benih yang jatuh di tanah yang subur adalah tahu, terima dan mempercayakan diri dan ini melahirkan tindakan-tindakan iman dalam kehidupan. Ini yang dapat melihat kemuliaan Allah.  


Aplikasi

Adakah keraguan dalam hidup kita bahwa Tuhan mengasihi kita atau Tuhan itu maha kuasa sanggup melakukan yg terbaik? Selama ini kita hanya tahu, mungkin sudah terima, tetapi apakah sudah mempercayakan diri kepada kebenaran itu? Kiranya di momen Paskah 2022 Iman atau percaya kita akan kasih dan kuasa Allah dalam berbagai ketidakberdayaan kita terus dikuatkan oleh Allah.


Unduh slide di sini

MUTUAL LOVE - Kasih Persaudaraan (1 TESALONIKA 4:9-12)


Slide Khotbah dapat diunduh di sini

Mutual Love (Kasih Persaudaraan)

1 Tesalonika 4:9-12


Pendahuluan

Mark Manson, seorang penulis yang terkenal belakangan ini, dalam blognya ia membandingkan dua orang musisi. Musisi yang pertama adalah John Lennon, yang menulis lagu berjudul “All You Need is Love,” yang mengagungkan keutamaan kasih, namun sayangnya dalam kenyataan hidupnya ia selingkuh, memukul isterinya, mengabaikan anaknya dan melecehkan manajernya dengan makian rasial. Sementara seorang musisi lain bernama Trent Reznor menciptakan lagu dengan judul “Love is Not Enough,” yang nampak menyangsikan kecukupan cinta, tetapi dikisahkan dalam ketenarannya, ia justru berhasil bebas dari obat-obatan terlarang dan alkohol. Ia menikahi satu wanita dan dikaruniai dua anak dan kemudian dalam pengalaman hidupnya,  ia rela membatalkan tur dan rilis albumnya demi dapat tinggal di rumah dan menjadi suami dan ayah yang baik.

Dua kisah ini menunjukkan seperti ada gap atau kesenjangan antara apa yang dipahami tentang kasih (yang dituangkan dalam syair lagu) dengan apa yang dipraktikkan dalam keseharian. Dan dari perbandingan ini ada pertanyaan mendasar yang timbul: apakah kasih itu cukup menopang kehidupan kita? Bagaimana menghapus gap antara pemahaman tentang kasih yang benar dengan perilaku yang mengasihi?

Hari ini kita belajar dari jemaat Tesalonika, suatu jemaat yang kata Paulus, “telah menjadi teladan” (1Tes 1:7) bagi orang-orang percaya lainnya. Dari surat Paulus kepada jemaat Tesalonika kita belajar paling tidak dua kebenaran tentang kasih. 


Pertama: kasih yang sejati perlu dihidupi dengan sungguh-sungguh karena itu cukup untuk menopang kehidupan kita. 


Penjelasan (Ay. 9-10)

Rick Warren dalam buku The Purpose Driven Life, Bab 16 menuliskan,  “Life is all about love” (ID: seluruh kehidupan berkisar pada kasih). Kasih itu dapat mencakup seluruh hidup kita. Karena itu kasih itu cukup menopang kehidupan kita. 


Selanjutnya, Firman Tuhan dalam Matius 22:37-40, menyatakan ”Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.” Bagian ini menegaskan bahwa firman Tuhan itu jika dirangkum akan menjadi hukum kasih: kasih kepada Tuhan dan kasih kepada sesama. Jadi kehidupan yang dinyatakan dalam Alkitab adalah tentang kehidupan yang mengasihi Allah dan sesama. Karena itu kasih cukup menopang kehidupan kita. Seperti firman Tuhan cukup menopang kehidupan kita. 

Selanjutnya lagi dalam 1 Yohanes 4:8 dinyatakan bahwa “Allah adalah kasih.” Hal ini makin menegaskan bahwa kasih sangat lebih dari cukup dapat menopang kehidupan kita. Karena Allah sendiri adalah kasih.

Pertanyaannya adalah bagaimana menghidupi kasih dengan sungguh-sungguh sehingga kehidupan kita dapat ditopang oleh kasih? Dalam hal ini kita perlu belajar dari kehidupan jemaat Tesalonika. 


Di ayat 9-10. Paulus menyatakan bahwa “tentang kasih persaudaraan tidak perlu dituliskan kepadamu,” ini sebuah pujian bahwa jemaat Tesalonika tidak punya gap atau tidak ada kesenjangan antara apa yang mereka pahami tentang kasih dengan perilaku kehidupan mereka yang mengasihi. Kamu sendiri telah belajar mengasihi dari Allah dan kamu lakukan juga kepada semua saudara di wilayah Makedonia. Tidak ada kesenjangan di situ. Apa yang mereka pelajari dari Allah, telah mereka terapkan kepada kepada orang lain. Dan mereka diminta lebih bersungguh-sungguh lagi melakukannya. 

Belajar lagi dan lakukan lagi, makin berkualitas makin meluas. Kasih yang tidak terbendung

Paulus menggunakan kata “theodidak” (God-taught) yang menunjukkan bagaimana jemaat Tesalonika membangun pemahamannya akan kasih.  Ini bukan kasih yang otodidak yang ditemukan secara perenungan pribadi (self-taught) seperti ajaran filsuf Yunani. Kasih yang bersumber dari Allah sendiri itulah yang dipelajari oleh Jemaat Tesalonika. Penafsir mengatakan bahwa Roh Kudus yang mengajari mereka tentang kasih yang sejati. Roh Kudus yang mengajar dan menguatkan mereka untuk mengasihi. Teodidak mencakup daya dorong untuk mengasihi bersumber dari Allah sendiri. 

Karena itu dapat dipastikan bahwa jemaat Tesalonika adalah jemaat yang sangat dekat dengan Tuhan

Mereka yang belajar mengasihi dari Allah dan didorong oleh Allah untuk mengasihi membuat mereka menyatakan kasih itu kepada sesama. Inilah mutual love itu, sesuai tema kita hari ini. Mutual love itu berasal dari kata Yunani filadelfia. TNIV menerjemahkannya sebagai “mutual love”. TB menerjemahkannya sebagai “kasih persaudaraan,” “brotherly love” (ESV, KJV). Ada juga menerjemahkannya sebagai “loving each other, ” atau saling mengasihi. Ini merupakan kasih yang terbangun dalam komunitas umat Allah dan bahkan lebih luas kepada semua orang. Seorang yang diajar oleh Allah tandanya adalah saling mengasihi, memiliki mutual love itu. 


Mungkin kita masih ingat perkataan Tuhan Yesus kepada murid-muridNya menjelang paskah. Yohanes 13:34-35, “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.” Perkataan Yesus ini kembali menegaskan bahwa seorang yang theodidak (murid-murid-Ku) akan saling mengasihi (mutual love)


Seorang yang terus menjaga kedekatannya dengan Tuhan, akan terus belajar mengasihi dari Allah, dan didorong oleh Allah untuk terus mengasihi. Itu bisa digambarkan seperti spiral yang makin ke atas makin berkualitas makin ke atas makin meluas. Makin dekat kepada Tuhan, makin terus belajar mengasihi dan dampak kasih itu makin meluas, makin mengasihi sesama. Inilah yang Paulus nasihatkan untuk bersungguh-sungguh melakukannya. Sehingga kehidupan dapat ditopang oleh kasih itu.


Ilustrasi

Bapak/ibu saudara mungkin masih ingat kisah seorang perempuan muda bernama Ade Sara Angelina Suroto yang dibunuh oleh mantan pacarnya dengan keji pada tahun 2014. Orangtua Ade Sara, Suroto dan Elizabeth, mengampuni pelaku yang menghabisi nyawa putri mereka dan itu menjadi berita yang viral pada saat itu. Koran Tempo memberi judul liputan mereka “Mengapa Orang Tua Ade Sara Maafkan Pelaku?” Suroto mengaku bahwa permaafan yang dilakukannya adalah pengejawantahan perintah Tuhan. Sementara itu, Kanal berita online lainnya Merdeka.com menuliskan kutipan wawancara Suroto yang mengatakan, “Sebagai manusia, sangat sulit mengampuni orang yang membunuh anak kita, bahkan bisa saja membalas dendam. Tapi saya minta Tuhan menguatkan, justru saya bersyukur karena kami disanggupkan untuk mengampuni mereka.”

Theodidak: belajar mengasihi dari Allah dan pada saat yang sama mendapat kekuatan untuk mengasihi sesama. Theodidak terjadi dengan menjaga hubungan yang dekat dengan Tuhan.  



Aplikasi

Kasih yang sejati perlu dihidupi dengan sungguh-sungguh karena itu dapat menopang kehidupan kita. Kasih sejati yang dihidupi membuat kita dapat mengasihi sesama bahkan di dalam situasi yang berat sekalipun. Menghidupi dengan sungguh-sungguh berarti terus menjaga sehingga proses theodidak terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari: belajar dari Allah dan dimampukan Allah mengasihi sesama.

Apakah saudara merasa sulit mengasihi orang lain? Apakah merasa tidak bisa mewujudkan kasih persaudaraan itu? Akar masalahnya adalah kita tidak memiliki relasi yang dekat dengan Allah sehingga proses theodidak itu tidak terjadi. 

Seringkali ekspresi kasih kita dampaknya tidak meluas. Tidak ada orang yang kita jangkau, tidak orang yang kita bantu, tolong atau beri penghiburan. Keluarga kita tidak punya dampak bagi orang lain. Topik doa kita selalu untuk kebutuhan diri, diri dan diri. Kasih kita stagnan ini juga ditengarai berasal dari relasi yang tidak bertumbuh dengan Tuhan. Theodidak selalu berdampak pada kasih yang kian meluas. 

Firman Tuhan hari ini mengajak kita membangun relasi yang dekat dengan Tuhan sehingga proses theodidak dapat terjadi sehingga mutual love kita kian meluas.



Kedua: Kasih yang sejati akan membawa diri kita kepada kemandirian dengan itu kesenjangan antara pemahaman dan perilaku dapat dihilangkan.



Penjelasan (Ay. 11-12)

Salah satu penyebab mengapa ada kesenjangan (gap) antara kasih yang kita pahami dengan perilaku kehidupan kita adalah karena relasi kita belum mandiri. Akan tetapi kasih yang sejati akan membawa diri kita kepada kemandirian. 

Ada sekelompok kecil orang di Jemaat Tesalonika, yang bukannya menyatakan kasih kepada orang lain, tetapi justru memanfaatkan kasih sayang jemaat lain dengan kehidupan yang bermalas-malasan dan enggan bekerja. Mereka seperti parasit di dalam Jemaat sehingga kasih persaudaraan itu dapat menjadi tantangan jika terus dibiarkan. Oleh karena itu, pada ayat 11-12, Paulus mengingatkan mereka untuk memiliki keinginan yang kuat untuk hidup dengan tenang, bebas dari perilaku yang mengganggu atau membebani orang lain, mengurus persoalan sendiri, dan bekerja dengan tangan sendiri. Sehingga mereka dihormati dan tidak bergantung pada orang lain. Ini penekanan kemandirian dalam relasi Jemaat


Paulus bahkan memberi contoh dengan kehidupannya sendiri (1 Tesalonika 2:8-9), “Demikianlah kami, dalam kasih sayang yang besar akan kamu, bukan saja rela membagi Injil Allah dengan kamu, tetapi juga hidup kami sendiri dengan kamu, karena kamu telah kami kasihi. Sebab kamu masih ingat, saudara-saudara, akan usaha dan jerih lelah kami. Sementara kami bekerja siang malam, supaya jangan menjadi beban bagi siapapun juga di antara kamu, kami memberitakan Injil Allah kepada kamu.” Ada kemandirian dalam tim pelayanan yang melayani jemaat Tesalonika, Paulus dan tim pelayanan tidak ingin menjadi beban bagi orang-orang yang mereka layani, karena itu mereka bekerja sedemikian rupa dengan tetap menunaikan tugas penginjilan mereka. 

Kasih yang sejati membawa diri kita menuju kemandirian sehingga tidak ada kesenjangan dalam pemahaman kita tentang kasih dengan praktik kasih dalam keseharian kita. Dalam pola relasi ada orang yang bersikap dependen merasa terbatas, tidak mampu memikul tanggung jawab tertentu sehingga ia akhirnya menuntut dikasihi. Orang seperti ini perlu berusaha menuju kemandirian, berjuang untuk tidak menjadi beban bagi orang lain, belajar menyatakan kasih dengan cara yang ia mampu, bukannya menuntut. Ada juga yang bersikap Independen merasa bebas tapi tidak mau ambil tanggung jawab, punya kemampuan tetapi tidak ingin terlibat, selalu berdalih dan mengabaikan kebutuhan orang di sekitarnya.  Orang seperti ini perlu menyadari bahwa ia bisa ada karena ada orang yang mendukung dia. Orang yang lain lagi ada yang bersikap kodependen

yang merasa bertanggung jawab untuk semua hal tetapi tidak menikmati, merasa harus mengasihi orang lain dengan mengesampingkan kebutuhannya sendiri akan kasih. Orang seperti ini perlu menempatkan kasih dengan benar: ada saatnya mengasihi dan ada saatnya menikmati kasih. Sikap yang kita harapkan adalah sikap yang interdependen memahami kasih yang sejati bersumber dari theodidak, mengambil tanggung jawab untuk mengasihi, tidak menjadi beban bagi orang lain, membuka diri mereka sendiri menjadi objek kasih yang mutual. 

Aplikasi

Saudara yang dikasihi Tuhan, apakah kasih yang kita praktikkan adalah kasih dalam relasi yang kemandirian atau interdependen? Seringkali kasih kita adalah kasih yang menuntut, kita berkata, “saya mengasihi jika saja …” ada tuntutan dalam kasih kita dan itu membuat kasih kita rapuh. Saya akan mengasihi jika saya diperlakukan dengan baik. Tidak ada semangat pengorbanan yang ada adalah tuntutan dan tuntutan kepada orang lain. Kita menuntut pasangan kita, kita menuntut orang tua kita, kita menuntut anak-anak kita, kita menuntut pendeta, kita menuntut Tuhan untuk mengasihi dan menolong dia.

Cara mudah mendeteksi ada gap atau kesenjangan dalam kasih kita adalah jika kita mudah marah, mudah konflik, hitung-hitungan dalam relasi kita dengan orang lain. Itu semua menunjukkan kasih kita belum mandiri. Mulai lagi membangun hubungan yang dekat dengan Tuhan, mengevaluasi kembali pemahaman dan praktik kasih kita kepada sesama.

Atau kita mungkin orang yang selama ini mengabaikan pelayanan. Diminta pelayanan di gereja selalu menghindar, diminta pelayanan di tempat kerja merasa tidak ada waktu, diminta menolong orang lain selalu berdalih, bahkan untuk berdoa bagi orang lain pun tidak pernah. Jika kita adalah orang seperti ini, maka kita perlu sungguh-sungguh datang pada Tuhan dan bertobat. Semua orang yang mengasihi Allah akan mengasihi sesamanya


Penutup 

Demikianlah firman Tuhan hari ini, kiranya Allah menolong kita untuk memiliki mutual love (kasih persaudaraan) yang kian meluas dan dalam relasi yang mandiri. Dan itu dimulai dari relasi yang dekat dan konsisten dengan Allah sehingga proses theodidak dapat terus terjadi: dimana kita belajar dan dimampukan oleh Allah memiliki mutual love. Amin


Support Blog

Support blog ini dengan subscribe Channel Youtube Victor Sumua Sanga dengan klik tombol di bawah: