PENDAHULUAN
Kesejajaran
(paralelisme) pemikiran merupakan ciri-ciri khusus puisi Ibrani dan puisi Semit
lainnya. Penulisan puisi seperti ini
sesungguhnya menggambarkan cara berpikir orang Ibrani. Orang Ibrani sering menyatakan sesuatu
yang sama dengan beberapa cara. Bahkan menurut LaSor, boleh jadi hanya orang
Ibrani yang menyatakan sesuatu dengan beberapa cerita yang isinya sama,
berlawanan atau saling melengkapi.1 Akan tetapi paralelisme bukanlah ciri khusus
dan dominan dalam puisi Ibrani saja, melainkan ciri puisi-puisi Toraja, yang
sering kali dinyanyikan dalam berbagai acara dan ritual kepercayaan Toraja.2 Oleh karena itu melalui makalah
ini, penulis akan mencoba membandingkan lebih jauh antara puisi Ibrani dan
puisi Toraja. Lirik-lirik yang digunakan
dalam tulisan ini diambil dari lagu yang dinyanyikan dalam sebuah ritual
penting dalam kepercayaan Toraja, ma’
badong.3

Badong merupakan nyanyian umum yang
dilantunkan oleh orang-orang yang berduka baik itu keluarga maupun sanak
famili. Kesedihan orang-orang yang
berduka sering kali diekspresikan dengan meraung-raung atau menangis
tersedu-sedu, terutama jika mereka memiliki hubungan yang sangat dekat dengan
orang yang meninggal tersebut. Dua tema
yang dinyatakan dalam badong adalah suatu
ekspresi kesedihan dan suatu penghormatan bagi orang yang meninggal.7
Istilah yang sering muncul
dalam badong untuk menggambarkan
kesedihan keluarga dan teman dari orang yang meninggal adalah bating.
Bating merupakan ratapan yang
bersifat pribadi terhadap orang yang meninggal. Ritual ma’
badong biasanya dimulai dengan ajakan bagi orang-orang yang berduka untuk
bersama-sama menyanyikan lagu badong. Berikut ini pendahuluan lagu dari ritual ma’badong:
Umbamira
sangtondokta,
to
mai sangbanuanta?
Ke’de’ko
tatannun bating,
tabalandung
rio-rio.
Sae
nasang to marintin,
mairi’
tangke tikunna.
La
marintin lako ambe’,
mario lako ma’dadi.8
Lirik-lirik yang mengekspresikan kesedihan dan
kedukaan juga tergambar jelas dalam badong.
Berikut ini lirik duka tersebut:
Mario-rio
kan kami,
marorrong
silelekan.
Male
natampa [natampe, pen] ambe’ki,
naboko’i
ma’dadingki.
Male
untampe tondokna,
umboko'i
banuanna.
Malemi
naturu gaun,
naempa-empa
salebu’,
napararre’ uran allo.9
Selanjutnya
selain ekspresi kesedihan seperti yang disebutkan di atas, badong juga terkadang berisi tema yang menunjukkan penghormatan
kepada orang yang meninggal. Lagu yang
dinyanyikan menyampaikan semacam catatan sejarah tentang keluhuran budi dan
kebesaran jasa orang yang telah meninggal tersebut.10 Berikut bagian dari lagu badong yang menunjukkan penghormatan
bagi orang yang telah meninggal tersebut.
Ma’doke-doke
rangka’na,
ma’pasoan
tarunona.
Tu
bulaan banne ba’tang,
tu
rara’ rangga inaja,
ponto
passasaran tuju.
Sanda
sia malaenni,
sanda
nabenni dewata,
sanda napotoeanni.11
Secara
umum lagu badong dikelompokkan menjadi
dua, yaitu: badong diosso’mo, badong tradisional yang mempunyai urutan
yang sistematis dan dinyanyikan dalam urutan yang tetap pula. Meskipun bentuknya tetap badong diosso’mo mempunyai variasi yang berbeda antara satu daerah
dengan daerah yang lain. Selain badong tradisional, terdapat juga badong non-tradisional, yang bentuknya
lebih pendek dari badong tradisional. Badong
non-tradisional juga bervariasi antara satu daerah dengan daerah yang lain.12
Lantunan syair atau lagu
ritual ma’badong dalam pelaksanaannya
selalu diikuti dengan tarian tertentu.
Lagu tersebut dinyanyikan dalam keadaan berdiri, yang disertai dengan
gerakan tangan [yang bergandengan membentuk lingkaran, pen] dan hentakan kaki
sambil dalam berputar13 pada arah yang berlawanan dengan
jarum jam.14