(dimuat dalam Athalia Learning Community (ALC) News, Edisi Oktober 2024)
Sitti Soendari dengan terbata-taba berpidato dalam bahasa Indonesia pada kongres perempuan nasionalis. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang ia pelajari dalam kurun waktu dua bulan. Ia sengaja memilih menggunakan bahasa Indonesia dalam pidatonya alih-alih menggunakan bahasa Jawa, bahasa ibunya, atau bahasa Belanda, bahasa dunia intelektualnya. Ia memilih menggunakan bahasa Indonesia sebagai simbol komitmennya terhadap cita-cita politik yang dinyatakan dalam peristiwa bersejarah Sumpah Pemuda, “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Komitmen seperti ini menandai semangat persatuan dalam berbagai gerakan kepemudaan pada tahun 1928 dan setelahnya [1]. Semangat persatuan dan komitmen kebangsaan tercermin jelas dalam sepenggal kisah seorang pemimpin muda Indonesia era 1928 yang memilih menggunakan bahasa Indonesia dalam pidato pentingnya.
Ada dua peristiwa menarik dalam Alkitab yang memiliki keterkaitan teologis dimana Allah menggunakan bahasa untuk menyatakan rencananya bagi umat-Nya. Peristiwa pertama adalah peristiwa menara Babel (Kej. 11:1-9). Awalnya manusia satu bahasa, satu logat. Tapi dengan kesatuan itu mereka menentang perintah Tuhan untuk menyebar ke seluruh bumi. Mereka tidak mau menyebar, mereka maunya kumpul dan membangun menara kabanggaan. Tuhan mengacaukan bahasa sehingga mereka tidak bisa saling memahami dan mereka akhirnya tersebar sesuai rencana Tuhan. Sejak hari itu, bahasa menjadi beragam dan keragaman itu membentuk identitas berbeda dan melahirkan etnik berbeda. Peristiwa kedua adalah peristiwa Pentakosta (Kis. 2:1-13). Pada peristiwa pentakosta, Roh Kudus memampukan para rasul untuk memberitakan perbuatan-perbuatan Allah kepada orang-orang yang berbeda bahasa dengan mereka, tanpa sebelumnya mempelajari bahasa tersebut. Di sini, perbuatan-perbuatan Allah yang besar diberitakan kepada orang yang berbeda bahasa dan budaya.
Allah berulang kali dalam berbagai peristiwa memakai bahasa sebagai alat untuk menyatakan karya-Nya bagi umat manusia. Allah ingin kita memanfaatkan kemampuan berbahasa kita bukan untuk menentang kehendak Allah, bukan untuk mengeluarkan kata-kata yang kotor, bukan untuk membicarakan hal buruk tentang orang lain, bukan untuk memaki atau merendahkan sesama. Allah ingin bahasa dan kemampuan berbahasa kita untuk menceritakan kebaikan-Nya dalam hidup kita, untuk memuji kebesaran dan kemuliaan-Nya, untuk memberkati anak-anak kita, untuk mendoakan orang tua kita, menguatkan dan memotivasi orang yang tawar hati, memberitakan firman-Nya.
[1] Foulcher, Keith. “Sumpah Pemuda: The Making and Meaning of a Symbol of Indonesian Nationhood.” Asian Studies Review 24, no. 3 (September 1, 2000): 377–410. https://doi.org/10.1080/10357820008713281.