Spiritualitas Musa terangkum dalam satu gelar yang
disandangnya. Musa adalah salah satu tokoh PL yang menyandang gelar “hamba
TUHAN,” (ay. 5; Baca Bil.12:6-8). Gelar hamba
TUHAN merupakan gelar besar dalam PL yang dilekatkan pada seseorang yang
hidupnya dekat dengan Tuhan, beribadat dan melakukan kehendak-Nya.
Menjadi seorang hamba TUHAN bukan berarti menjadi
seorang yang sempurna dan tanpa cacat. Pada ayat 1-4 dinyatakan bahwa Allah
memperlihatkan Tanah Perjanjian kepada Musa, tetapi tidak diizinkan
memasukinya. Mengapa ia tidak diizinkan masuk? Bukan karena ia tidak sanggup
lagi berjalan sebab ia masih kuat (ay.7). Ia tidak diizinkan memasuki Tanah
Perjanjian sebagai bentuk disiplin TUHAN karena ia pernah menunjukkan
ketidaktaatan dan ketidakhormatan kepada TUHAN ketika berada di Meriba (Ul.
32:51; bdk. Bil. 20:12).
Jika kita melihat secara menyeluruh kehidupan Musa
tampak noda ketidaksempurnaan. Di awal pengutusannya, ia berdebat dengan TUHAN.
Ia enggan menjalankan tugas yang diberikan kepadanya. Sikapnya ini membuat
Allah menjadi murka (Kel. 3:10-4:14). Ia juga pernah putus asa dan menjadi
kecil hati, bahkan meminta TUHAN membunuhnya saja (Bil. 11:11-15). Musa adalah
seorang yang sulit mengendalikan kemarahan, tampak ketika ia membunuh mandor
Mesir yang membunuh orang Ibrani (Kel. 2:11-12) dan ketika ia menghancurkan
kedua loh batu saat melihat umat menyembah berhala (Kel. 32:19). Menjadi hamba
Tuhan, bukan berarti menjadi sempurna tanpa kesalahan.
Menjadi seorang hamba TUHAN berarti selalu akrab
dengan-Nya. Keakraban Musa dengan TUHAN tidak lagi dapat dipertanyakan. Ia
bahkan dikenal sebagai satu-satunya nabi yang kepadanya TUHAN berfirman dengan
berhadapan muka (ay. 10), seperti seorang berbicara kepada temannya (Kel.
33:11). Musa dalam dua peristiwa dicatat
menghabiskan waktu 40 hari 40 malam bersama TUHAN di gunung Sinai (Kel. 24:18
dan 34:28). Musa sering mendoakan bangsanya, memohon supaya TUHAN tidak
menghukum mereka (Kel. 32:11; Bil 14:19)
Persekutuan akrab dengan TUHAN inilah yang membangun
spiritualitas Musa sebagai hamba TUHAN. Persekutuan yang akrab dengan TUHAN
inilah sumber kekuatan dan hikmat bagi Musa dalam memimpin Israel.
Persekutuannya yang akrab dengan TUHAN inilah yang membuatnya mampu melakukan
perbuatan besar dan dahsyat di tengah-tengah umat yang dipimpinnya (ay. 11-12).