Kedewasaan Karakter Kristen (1Sam 2:11-26)


Bacaan kita menunjukkan bahwa kedewasaan karakter Kristen bisa saja dimiliki oleh orang yang secara usia relatif lebih muda. Yang menjadi ironi, terkadang kedewasaan karakter justru tidak terlihat dari orang yang secara usia lebih tua.

Bagaimana memiliki kedewasaan karakter?

  1. Penentu kedewasaan karakter Kristiani

Dalam perikop yang kita baca, penulis kitab Samuel ingin membandingkan dua figur, yaitu figure anak-anak Eli dan figure Samuel. Ada seorang penafsir yang memberikan judul pada perikop ini, bad boy and good boy. 

Figur anak-anak Eli bernama Hofni dan Pinehas, sebagai figur Bad Boys, di ayat 12-17 dinyatakan sebagai orang-orang dursila. Dursila kalau dalam Alkitab bahasa Inggris disebut good for nothing. Suatu figur seseorang yang tidak ada baiknya, tidak ada kebaikan di dalam dirinya.
Anak-anak Eli digambarkan sebagai figur yang serakah, yang mengambil apa yang bukan menjadi hak mereka. Di dalam Imamat 7:34 dinyatakan, “karena dada persembahan unjukan dan paha persembahan khusus telah Kuambil dari orang Israel dari segala korban keselamatan mereka dan telah kuberikan kepada Imam Harun, dan kepada anak-anaknya; itulah suatu ketetapan yang berlaku bagi orang Israel untuk selamanya.” Berdasarkan ketetapan Tuhan, bagian mereka seharusnya dada dan paha dari hewan korban persembahan, tapi yang mereka lakukan justru berbeda. Mereka mengambil segala yang ditarik dengan garpu bergigi tiga. Bahkan di ayat 16 mereka juga mengambil lemak. Lemak adalah bagian dari kurban sembelihan yang hanya diperuntukkan bagi Tuhan.
Kejahatan lainnya, di ayat 22 adalah mempraktekkan perzinahan, yang menjadi kebiasaan penyembahan berhala, dalam ritual ibadah di Kemah Pertemuan (atau Bait Allah pada masa itu). Mereka sesungguhnya sudah diperingatkan oleh orang-orang termasuk ayah mereka sendiri, tetapi mereka tidak peduli (ay.25). Kisah selanjutnya Allah menghukum mati anak-anak Eli.
Lain halnya dengan the good boy, Samuel. Samuel yang jauh lebih muda dari anak-anak Eli. Samuel melayani Tuhan dengan baik dalam pengawasan Eli. Di usia yang masih anak-anak, sebagai penolong imam Eli, Samuel sangat memperhatikan pelayanan dengan baik. Ayat 18 dinyatakan bahwa Samuel memakai baju Efod. Peraturan ini merupakan ketentuan atau peraturan yang harus dilakukan bagi para imam pelayan di Kemah Pertemuan.
Kerelaan dan perhatian Samuel dalam melayani mendatangkan berkat bagi keluarganya. Allah mengaruniakan anak laki laki dan perempuan bagi orangtua Samuel. Perikop ini yang kita baca ditutup dengan Samuel yang bertumbuh dan makin disukai Allah dan manusia.
Samuel menaati dengan baik peraturan bagi para imam yang melayani, sedangkan anak-anak Eli mengabaikannya. Pelayanan Samuel menjadi yang disukai Allah dan manusia, sedangkan anak-anak Eli dikeluhkan oleh orang banyak dan juga ayah mereka. Ketaatan Samuel menghadirkan berkat bagi keluarganya, sedangkan anak-anak Eli menyusahkan orangtuanya.

sumber: thoughts-about-god.com/blog/ml_gods-presence/
Saudara-saudara apa yang menjadi penentu kedewasaan karakter Samuel, diusia yang masih sangat muda? Dan mengapa ia begitu berbeda dengan Hofni dan Pinehas, yang secara usia jauh lebih tua? Jawabannya ditemukan dalam sebuah frasa “di hadapan Tuhan.” Sebuah frasa yang sangat penting dalam kitab Samuel secara umum dan secara khusus dalam perikop yang kita baca, yaitu “di hadapan TUHAN.” Frasa ini diulang lebih dari 30 kali di dalam Kitab 1 Samuel dan 2 Samuel. Secara khusus di dalam perikop yang kita baca frasa ini diulang sebanyak 4 kali yaitu di ayat 17 18 21 dan 26.
Mengapa Samuel memiliki kedewasaan karakter Kristiani? Karena ia senantiasa menyadari bahwa hidupnya ada di hadapan Tuhan. Kesadaran bahwa hidup terbuka di hadapan Tuhan ini, dibangun dari pengenalan akan Kemahatahuan dan kemahahadiran Allah.
Kehidupan yang terbuka di hadapan Tuhan juga digambarkan dengan jelas dalam Mazmur 139:1-12. Mari kita baca Mazmur ini bersama-sama. Tuhan tahu kita duduk atau berdiri, berjalan atau berbaring. Tuhan tahu pikiran ataupun perkataan kita. Tuhan melihat, memperhatikan dan akan mengevaluasi kehidupan kita. Tidak ada tempat yang tersembunyi dari Allah, bahkan di dunia orang mati pun Tuhan ada.
Seorang yang memiliki kedewasaan karakter Kristiani adalah seorang yang senantiasa melihat hidupnya berada dan terbuka di hadapan Tuhan.


Ilustrasi

Gusti Ora Sare:
·         Sebuah buku karya Pardi Suratno dan Heniy Astiyanto menjadi rujukan beberapa tulisan
·         Diucapkan oleh Jusuf Kalla 13 September 2009: Seorang Bugis yang mengucapkan pepatah Jawa.
·         Ditulis oleh Ahok di akhir suratnya pada 21 Mei 2017 dari rumah tahanan Markas Komando Brimob – Depok.

“Gusti ora sare”. Dalam filosofi budaya Jawa, istilah Gusti ora sare merupakan ungkapan doa keyakinan iman atau kredo bahwa Tuhan tidak tidur. Ia adalah sang maha tahu, maha melihat, dan maha bijak. Ia tidak tidur, Ia selalu terjaga, Ia selalu melihat atas segalanya.
Dalam konteks kehidupan, pengertian ungkapan Gusti ora sare ini bisa merujuk pada tafsir yang juga dalam bahasa Jawa yaitu becik ketitik ala ketara (beci’ ketiti’ olo ketoro), yang baik akan kelihatan yang jelek akan nampak pada waktunya. Di mana dalam kehidupan pada akhirnya segala kebusukan yang berselubung kemunafikan akan terungkap, terbongkar dan ditelanjangi sebagai buah atas perbuatannya. Seiring itu pula, kebaikan dan kebenaran akan dinyatakan. 


Aplikasi
            Saudara-saudara saat ini hidupmu di hadapan siapa?
     Di hadapan manusia, orangtua, guru, pimpinan, pendeta  atau hidup di hadapan Tuhan;
     Kejahatan yang kita pikir tersembunyi, pada waktunya Tuhan akan menghakimi. Pemberontakan kita lakukan kita anggap tidak ada yang dapat mencegahnya? Ingat Gusti ora sare, Tuhan tidak tidur, ia hakim yang maha tahu.
     Sebaliknya Jangan takut jika ketaatanmu tidak dilihat orang; jangan kuatir jika pengabdianmu tidak diperhitungkan, Tuhan memperhatikannya, Gusti Allah ora Sare
     Pada waktunya kebenaran akan timbul dan membawa berkat, sedangkan kejahatan akan dihukum.

  1. Ujian kedewasaan karakter Kristiani

Seringkali kita mengatakan bahwa sulit menjadi seseorang yang dewasa karakter karena kita orang-orang di sekitar kita menampilkan karakter yang buruk. Saya sulit taat karena teman-teman kelas saya bla..bla... untuk apa yang berjuang melakukan hal yang benar sementara keluarga saya tidak peduli dengan kebenaran.

Di dalam perikop ini kita melihat bahwa kedewasaan Karakter Samuel terus bertumbuh meskipun ia minim teladan. Dari perikop yang kita baca kita melihat bagaimana dosa anak-anak Eli yang begitu mendominasi. Dosa anak-anak Eli nampak bukan hanya dari segi kuantitas tapi juga kualitas yang semakin buruk.

Hofni dan pinehas melakukan dosa setiap kali ada orang Israel yang mempersembahkan kurban kepada Allah. Mereka bukan hanya mengambil daging yang tidak sesuai dengan peruntukannya melainkan mereka juga mengambil lemak yang seharusnya diperuntukkan bagi Tuhan. Mereka bukan lagi hanya meminta tetapi mulai menggunakan kekerasan. Mereka bukan hanya merendahkan korban persembahan Bagi Tuhan bahkan lebih buruk lagi mereka mulai membawa ke rumah Tuhan ritual perzinahan yang biasa dilakukan dalam penyembahan Berhala.

Penulis kitab Samuel bahkan menggambarkan dengan implisit bagaimana kedewasaan karakter Samuel yang lulus uji atas dominasi dosa anak-anak Eli. Jika kita perhatikan ayat 11 hingga ayat yang ke 26 kita akan melihat strukturNarasi sebagai berikut:
     Ayat 11 sebagai prolog
     Ayat 12-17 kejahatan anak-anak Eli
     Ayat 18 sampai 21 Karakter pelayanan Samuel
     Ayat 22 sampai 25 kejahatan  anak-anak Eli yang lain
     Ayat 26 epilog sambil tetap bertumbuh.
Hal yang sangat menarik adalah bahwa Samuel tidak turut terseret dalam dosa Mereka. Samuel mampu menampilkan kualitas karakter yang sungguh bertolak belakang dari karakter anak-anak Eli. Dominasi dosa mereka tidak tidak mampu meruntuhkan kedewasaan karakter yang dibangun oleh Samuel. Samuel tetap bertumbuh di dalam Tuhan dia menyenangkan hati Tuhan dan sesamanya meski ada pelanggaran yang terstruktur, masif dan sistematis di sekitarnya.



Aplikasi

Apakah minimnya teladan bisa menjadi excuse bagi kita untuk tidak memiliki kedewasaan karakter? Justru minimnya teladan merupakan ujian kedewasaan karakter. Hanya orang berani yang mampu bertahan dalam ketaatan ketika banyak teman di sekitarnya melanggar. Orang yang tetap taat meski minim teladan adalah orang yang tahan uji.
[[[[ Jika ketaatan kita didasarkan oleh ketaatan orang lain, maka ketaatan kita rapuh. Jika kita taat karena orang lain, maka kita akan melanggar bila orang lain melanggar.]]]] karakter  sejati didapat dari ketaatan yang dibangun di hadapan Tuhan. Meski orang lain melanggar, meski orang lain tidak setia, meski orang lain abai. Gusti ora sare karena itu bangunlah ketaatan di hadapan Tuhan. Ketaatan yang tahan uji membuahkan kedewasaan karakter.



download powerpoint disini

Support Blog

Support blog ini dengan subscribe Channel Youtube Victor Sumua Sanga dengan klik tombol di bawah: