Ketika kita membaca kisah Ayub, mungkin kita
merasa bahwa kisah ini adalah kisah yang terlalu dilebih-lebihkan. Kita
menganggap bahwa kisah Ayub tidak mungkin sungguh-sungguh terjadi. Bagaimana
mungkin seorang yang memiliki keluarga dan harta yang banyak dapat kehilangan semua
itu bersamaan dalam sehari? Suatu fakta yang mungkin bagi kita sulit diterima
dan sulit dilihat padanannya pada masa kini. Tetapi sesungguhnya, beberapa kisah
pilu mirip pengalaman Ayub terjadi juga di masa kini.
Di Cimahi 2010 lalu,
terjadi perampokan sebuah toko besi. Para perampok bukan hanya mengambil uang
sang pemilik toko, tetapi juga ambil nyawa sang pemilik. Tiga orang meninggal
pada perampokan itu: Bapak Karnadi, isterinya dan anaknya yang bernama Rudi (http://www.tempo.co/read/news/2010/08/26/178274306/Motif-Perampokan-Cimahi-Diduga-Dendam-Campur-Ekonomi).
Kisah yang hampir sama pernah
terjadi di Probolinggo-Jawa Timur. Terjadi perampokan yang kembali menghabisi
bukan hanya harta tetapi juga nyawa para korban. Pada perampokan di Probolinggo
ini keluarga yang dibantai berjumlah empat orang (http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/02/21/137578/Perampok-Sadis-Habisi-Empat-Korban).
Jadi perampok-perampok itu
tidak lagi bertanya minta serahkan harta atau nyawa, tetapi serahkan harta dan
nyawa.
Penderitaan dialami oleh orang Percaya
Salah satu poin yang
sangat menarik dari kisah Ayub adalah karena musibah atau penderitaan berat ini
menimpa seorang yang sangat mencintai Tuhan, seorang yang meninggikan Tuhan
dalam hidupnya.
Ayub 1:1 menyatakan ”Ada
seorang laki-laki di tanah Us bernama Ayub; orang itu saleh dan jujur; ia takut
akan Allah dan menjauhi kejahatan.” Ayub 1:5 menyatakan bahwa Ayub juga
berupaya menguduskan keluarganya. Setiap kali anak-anaknya usai pesta, ia
menguduskan mereka. Tiap pagi Ayub mempersembahkan kurban bakaran sebanyak
anak-anaknya. Dan perhatikan kalimat terakhir ayat ini, “ Demikianlah dilakukan
Ayub senantiasa.” Kata “senantiasa” menunjukkan sikap taat yang konsisten,
bukan musiman. Ayub konsisten menjaga anak-anaknya dari dosa.
Seorang yang mengasihi Tuhan, saleh, jujur,
menjauhi kejahatan dan konsisten menjaga anak-anaknya dari dosa, justru
mengalami penderitaan yang begitu rupa.
Seorang misionaris bernama
Hudson Taylor. Hudson sejak umur 5 tahun sudah berkeinginan suatu saat menyerahkan
hidupnya sebagai seorang misionaris. Ketika dewasa itu benar-benar terjadi. Ia
menjadi seorang misionaris yang melayani di China.
Apakah komitmennya untuk
Tuhan membuatnya jauh dari penderitaan? Jawabannya, Tidak! Justru karena
komitmen dan panggilan sebagai misionaris, membuatnya pernah ditolak oleh
wanita yang ia cintai. Meski akhirnya ia menikahi seorang gadis bernama Maria.
Penderitaannya tidak berhenti. Rumahnya di China dirusak dan dibakar. Dalam
kurun waktu setahun, ia kehilangan anaknya yang berumur 5 tahun, putranya yang
baru berumur 2 minggu, dan tidak lama kemudian isterinya, Maria juga meninggal.
Penderitaan bertubi-tubi dialami oleh seorang yang menyerahkan hidupnya untuk
pekerjaan Tuhan.
Ketika kita merenungkan kebenaran
ini, kita diingatkan bahwa orang Kristen tidak kebal penderitaan. Kita mungkin
saja mengalami penderitaan dalam hidup ini. Jadi janganlah kita menganggap
ketika kita percaya pada Tuhan, jadi pengurus di persekutuan, menjadi pendeta
atau penginjil, maka kita orang yang tidak mungkin lagi mengalami masalah,
penderitaan dan pergumulan dalam hidup.
Berdamai
dengan Penderitaan
Terbuka terhadap
penderitaan bukan berarti mencari-cari penderitaan, masalah dan pergumulan.
Kisah Ayub mengajarkan kita untuk terbuka akan adanya penderitaan dalam hidup
orang percaya, tetapi kisah Ayub tidak mendorong kita cari-cari alasan supaya
menderita.
Ketika Ayub mengalami
kehilangan yang bertub-tubi, ketekunan Ayub dalam penderitaan sangat menonjol.
Ia begitu kuat menghadapi penderitaan yang ia alami. Apa rahasianya?