Pemimpin yang berkenan kepada Allah adalah pemimpin yang
taat. Kualitas seorang pemimpin di mata Allah ditentukan bukan oleh
keberhasilannya melakukan hal-hal besar, tetapi oleh ketaatannya melakukan
hal-hal apa pun yang Allah kehendaki. Penolakan Allah atas kepemimpinan Saul
bukan karena Saul tidak pernah mencapai hasil gemilang selama kepemimpinannya.
Penolakan Allah atasnya semata-mata karena Saul tidak taat kepada perintah
Allah.
Perintah Allah kepada Saul dinyatakan dengan sangat jelas, ”Jadi pergilah
sekarang, kalahkanlah orang Amalek, tumpaslah segala yang ada padanya, dan janganlah ada belas kasihan kepadanya. Bunuhlah semuanya, laki-laki maupun
perempuan, kanak-kanak maupun anak-anak yang menyusu, lembu maupun domba, unta
maupun keledai” (ay. 3). Sejelas perintah Allah kepadanya, sejelas itu pula
Saul bersama rakyat melanggar perintah itu, ”tidak mau mereka menumpas semuanya
itu” (ay. 9).
Apakah motif ketidaktaatan Saul? Saul
tidak taat kepada perintah Allah karena ia mencari kemuliaan bagi dirinya
sendiri. Pencarian akan kemuliaan diri tercermin dari tindakannya mengambil
rampasan dari peperangan melawan Amalek (ay. 8-9). Pada masa itu, seorang raja
yang menang perang akan dikagumi karena kualitas rampasan perang yang ia bawa.
Saul yakin dengan membawa raja Agag dan ternak terbaik, ia akan dipuji dan
disanjung oleh umat Israel dan bahkan oleh bangsa-bangsa sekitarnya.
Pencarian kemuliaan diri juga
ditunjukkan oleh Saul dengan mendirikan baginya suatu tanda peringatan di
Karmel (ay. 12: NIV, a
monument in his own honor). Monumen peringatan ini jelas menonjolkan
keberhasilan Saul dalam peperangan melawan Amaleh. Alih-alih memberikan
kemuliaan bagi Allah dengan menaati perintah-Nya dan mendirikan monumen untuk
memuliakan Allah, Saul mencari kemuliaan diri dengan melanggar titah Allah dan
mendirikan monumen untuk kemuliaannya sendiri.
Selain itu, ketidaktaatan Saul pada perintah Allah juga dilatari oleh karena ia
lebih takut kepada manusia daripada kepada Allah (ay. 24). Mengapa ternak orang
Amalek tidak dimusnahkan semuanya? Karena Saul takut kepada rakyat yang
menghendaki ternak tersebut dibawa sebagai rampasan untuk dipersembahkan kepada
Allah. Saul lebih memilih untuk taat kepada kehendak manusia, ketimbang
kehendak Allah. Ia lebih memilih memenuhi tuntutan manusia daripada tuntutan
Allah.
Saul lupa bahwa TUHAN-lah yang telah mengangkatnya menjadi raja atas Israel.
Saul gagal menyadari bahwa tampuk kepemimpinannya ada di tangan Allah dan bukan
di tangan rakyat. Karena itu, ia korbankan ketaatan demi jabatan.
Sikap Allah terhadap ketidaktaatan Saul dinyatakan dengan gamblang di sini.
Allah menyesali kepemimpinan Saul (ay. 11). Allah menolak kepemimpinan Saul
(ay. 23,26). Dan pada akhirnya Allah mengoyakkan jabatan raja dari Saul (ay.
28). Kepemimpinan Saul dicabut Allah karena ketidaktaatannya.
Ketaatan adalah satu-satunya syarat seorang pemimpin berkenan kepada Allah.
Bahkan ketaatan adalah satu-satunya keinginan Allah dari manusia. Umat manusia
dimurkai Allah karena ketidaktaatan Adam, sebaliknya umat Allah dibenarkan
karena ketaatan Kristus. Para pemimpin Kristen masa kini dipanggil untuk
menjadi serupa dengan Kristus di dalam ketaatan.
Pertanyaan refleksi:
1.
Bagaimanakah pencarian kemuliaan diri telah menggerogoti ketaatan dari para
pemimpin bangsa ini kepada Tuhan?
2.
Mengapa para pemimpin cenderung lebih takut kepada manusia daripada kepada
Allah?
3.
Apakah kehendak atau
perintah Allah yang masih saya abaikan sampai hari ini? Mungkinkah pencarian
kemuliaan diri ataupun ketakutan kepada manusia membuat saya tidak menaati
kehendak Allah itu?
(dimuat dalam buku Acara KKRJB 2011 kolom saat teduh)