PENDAHULUAN
Tana
Toraja merupakan daerah tujuan wisata yang ramai dikunjungi, baik wisatawan
mancanegara maupun lokal. Salah satu
adat istiadat yang terkenal, yang senantiasa menarik perhatian wisatawan,
adalah rambu solo’ yaitu adat
istiadat disekitar upacara kematian dan penguburan. Upacara yang berlatarbelakang kepercayaan
politeis ini mengandung nilai budaya yang tinggi dan sangat bernilai bahkan
begitu mengikat masyarakat Toraja. Permasalahan mulai terjadi ketika
misionaris-misionaris Kristen masuk ke Toraja untuk memberitakan Injil. Perjumpaan
ini menyebabkan terjadinya benturan antara kebenaran-kebenaran Kristiani dengan
berbagai konsep dan ritual yang dilaksanakan dalam upacara rambu solo’. Ketegangan ini
(masih terus terjadi hingga kini) menuntut gereja perlu tegas dan tidak
sinkretis tetapi juga disisi lain gereja perlu memikirkan keterlibatannya dalam
pemeliharaan kebudayaan setempat. Mana yang perlu dipertahankan dan mana yang
harus dihilangkan. Paper ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran mengenai
upacara rambu solo’ dalam sebuah
pembahasan yang komrehensif untuk kemudian menolong kita mengambil sikap yang
tepat dan benar ditengah-tengah ketegangan yang terjadi.
PENJELASAN
MENGENAI RAMBU SOLO’
Tempat Rambu
Solo’ dalam Konfigurasi Budaya Toraja
Mitologi Toraja, menceritakan pada mulanya
langit dan bumi masih bersatu. Ketika langit dan bumi berpisah, lahirlah tiga
dewa yaitu: Pong Tulak Padang (berdiam di bawah bumi), Pong Bangga-irante
(berdiam di permukaan bumi), dan Gaun Tikembong (berdiam di langit). Ketiga
dewa ini dikenal sebagai Puang Titanan Tallu, Tirindu Batu Lalikan (tri dewa). Mereka yang menciptakan matahari,
bulan dan bintang.
Gaun
Tikembong kemudian mengambil sebuah
rusuknya dab menjadikan dewa yang disebut: Usuk Sambaban, yang kemudian kawin
dengan Simbolok Manik yang keluar dari batu kemudian melahirkan Puang Matua.
Puang Matua kawin dengan Arrang di Batu, dan dari perkawinan inilah Puang Matua
melanjutkan proses penciptaan dengan kelahiran delapan orang anak kembar sauna sibarrung (pupulan kembar) yaitu:
Datu Laukku sebagai nenek moyang manusia; Allo Tiranda sebagai nenek moyang
racun; Laungku sebagai nenek moyang kapas; Pong Pirik-Pirik sebagai nenek
moyang hujan; Menturiri sebagai nenek moyang ayam; Menturino sebagai nenek
moyang kerbau, Riakko sebagai nenek moyang besi, Takkebuku sebagai nenek moyang
padi. Ciptaan yang lainnya lahir dari abu bekas ciptaan pupulan kembar, yang
disebarkan kemudian oleh Puang Matua.
Puang
Matua kemudian menurunkan manusia pertama ke bumi yaitu Puang Bura Langi’. Ia
kawin dengan wanita yang berasal dari dalam air bernama Kembong Bura. Dari
perkawinan ini lahir keturunan manusia pertama di bumi (Pongmula Tau).
Kedatangan Puang Bura langi ke bumi juga dikawal oleh hambanya, Pong Pakulandi
dengan memikul Aluk serba lengkap, yang disebut Aluk 7777777 atau Aluk Sanda
Pitunna (serba tujuh). Keturunan Puang Londong di Rura diceritakan sebagai
manusia pertama di dunia yang melanggar Aluk yang dibawa oleh nenek moyangnya.
Ia sangat kaya mempunyai empat orang anak, dua laki-laki dan dua perempuan.
Karena takut hartanya lari pada orang lain, ia mengawinkan anak-anaknya menjadi
pasangan suami-istri. Akibat pelanggaran terhadap Aluk yang merupakan tata
aturan sosio religius, maka ia ditenggelamkan oleh Puang Matua. Eran di Langi (eran: tangga, langi’:
langit) yang menghubungkan dunia dan langit diruntuhkan. Ini bermakna simbolik
bahwa hubungan manusia dengan dewa-dewa menjadi terputus sama sekali.
Sebagai
pembaharu yang memulihkan kembali hubungan antara langit dan bumi adalah Pong
Tandilino’ atau Tangdililing (alas bumi). Ia dibantu oleh Pong Suloara’ yang
membangun kembali tata aturan sosio religius. Pong Tandilino’ kemudian membuat
Tongkonan pertama di dunia yang terletak di Marinding Kecamatan Mengkedek.
Tongkonan ini dikenal dengan nama: Banua
Puan atau Ramba Titodo’. Dari
rumah Tongkonan inilah berasal seluruh nenek moyang orang Toraja.
Dari
cerita ini, jelas dalam kepercayaan orang Toraja, prinsip totalitas menjadi
dasar untuk memahami fenomena sosio-kultural dan sisio religius. Segala sesuatu
di dalam kosmos dianggap berhubungan secara organis dan tidak dapat dipisahkan
secara nyata. Puang Matua merupakan pusat totalitas itu, tetapi dalam keyakinan
Aluk Todolo, ia hanyalah merupkan
latar belakang saja (Deus Otiosius).
Ia tidak mempengaruhi kehidupan manusia secara aktif. Ia bertempat tinggal di
langit, berkuasa, terlalu jauh, tidak terhampiri walaupun menaungi alam semesta
serta abadi. Ia adalah primus inter pares
(yang pertama di antara yang sederajat) di antara dewa-dewa lainnya. Karena itu
namanya baru disebut dalam ritus-ritus pemujaan pada upacara-upacara besar,
seperti ma’bua’ atau merok.
Bertolak
dari kosep totalistik ini maka semua tatanan kehidupan tidak terlepas dari
nilai-nilai religius menjadi ultimate
value bagi seluruh kehidupan , dan aluk adalah sumber dan akar dari seluruh
tatanan sosial budaya Toraja baik dalam dimensi material maupun dimensi
spiritual. Aluk mempunyai pegertian
yang sangat luas yaitu:[1]
dalam Agama, hal berbakti kepada ilah atau dewa; yang kedua dalam upacara adat
atau agama, dan ketiga, dalam perilaku dan tingkah laku.
Aluk sanda
pituna (aluk 7777777) menjadi
filsafat hidup orang Toraja. Dimana manusia Toraja memandang kehidupannya
sebagai suatu siklus atau suatu lingkaran yang tidak dapat diulangi. Tujuan
hidup ialah kembali ke asalnya setelah segala ritual dipenuhi. Aluk 777777 yang bermakna sempurna
mencakup semua bidang kehidupan antara lain:
1. Aluk
Simuane Tallang (ritual-religius berpasangan) yang terdiri dari:
- Aluk Rambu Tuka’ (aluk rampe
matallo), yaitu ritual-religius kesukaan.
- Aluk Rambu Solo’ (aluk rampe
matampu’) yaitu ritual-religius kedukaan
2. Aluk Talu
Lolona yaitu: ritual religius yang berhubungan dengan tiga makhluk hidup:
- Alukna Lolo tau (yang menyangkut kehidupan manusia)
-Alukna Lolo Tahanan (yang menyangkut
tanaman)
- Alukna Lolo Patuoan (yang menyangkut
hewan)
3. Aluk
Rampanan Kapa (yang menyangkut perkawinan)
4. Aluk
Banua (yang menyangkut bangunan rumah)
5. Aluk
Padang (yang menyangkut tanah)
6. Aluk
Tananan Pasa’ (yang menyangkut pasar)
Jadi seluruh tatanan kehidupan masyarakat
Toraja diatur oleh aluk. Segala
sesuatu didasarkan pada aluk, karena
tanpa aluk kehidupan menjadi sia-sia. Yang melanggar aluk langsung mendapat hukuman dalam kehidupan ini. Hukuman ini
dapat dihapus dengan melakukan Massuru’
(penebusan dosa).
Konsepsi Dasar Upacara Rambu Solo’
Dalam
keyakinan Aluk Todolo hidup dipahami
sebagai suatu siklus yang tidak dapat diulangi. Itu berarti bahwa orang Toraja
percaya adanya kontinuitas kehidupan setelah kematian. Kematian bukanlah akhir
dari segalanya, tetapi ia berfungsi sebagai peralihan dari dunia nyata kepada
dunia mistis. Filsafat ini dinyatakan dalam ungkapan pa’bongianri te lino, pa’gussali-salian
lolo’ri kera’ pa’tondokan marendeng. Ungkapan ini mengandung arti bahwa
dunia ini hanya tempat persinggahan untuk sementara. Kehidupan abadi terletak
di luar kenyataan alam ini. Meskipun hanya untuk sementara, namun kehidupan di
dunia ini mempunyai fungsi bahkan merupakan bagian integral dalam perjalanan
hidup. Pengertian kontinuitas lebih dominan dari pada perubahan kualitatif. Sebab
kualitas hidup di sini akan dilanjutkan di sana. Penghayatan dan pengamalan
kehidupan di sini tidak boleh dianggap kurang penting sebab justru kehidupan di
sinilah yang memberi warna serta menentukan kehidupan di sana. Cara menghayati dan
mengamalkan kehidupan di sini dengan segala ritualnya bahkan hidup itu sendiri
adalah ritual, sangat menentukan kebahagiaan di sini dan akan berlanjut di
sana.
Salah
satu upacara yang paling penting untuk maksud tersebut adalah upacara Rambu Solo’. Ritus-ritus di sekitar
upacara Rambu Solo’ bersumber dari
falsafah Aluk Todolo bahwa tujuan
akhir dari lingkaran kehidupan ialah tempat dari mana kehidupan itu dimulai
yaitu dari alam mistis transenden. Hal ini dapat terwujud jika semua
ritus-ritus yang menjadi syaratnya terpenuhi (sundun). Salah satu wadah mewujudkan ritus tersebut adalah upacara Rambu Solo’. Kalau semua ritus itu
lengkap maka arwah orang mati akan membali
puang yang selanjutnya akan selalu mengawasi dan memberkati keluarga yang
masih hidup. Sebaliknya kalau upacara tidak lengkap ia tidak akan membali
Puang, sehingga arwahnya selalu gentayangan, mengganggu dan mengutuki keluarga.
Keyakinan tentang arwah seseorang yang membali Puang sering diungkapkan dalam kadong badong (syair lagu kedukaan) yang
berbunyi:
Dadi
deatami dao, kombongmi to palulungan
Laditulungmira
langngan, ladi penombaimira
Anna
benki tua’ sanda, palisu sanda mairi’
Dari ungkapan kadong
badong ini jelas bahwa dalam Aluk
Todolo tetap diyakini hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi antara
hidup di sini dan hidup di sana.
Dalam
rangka pemahaman tersebut di atas, dapat dimengerti kalau upacara Rambu Solo’ dalam masyarakat Toraja
mendapat penekanan yang amat menonjol. Pengamatan modern yang sering mengatakan
bahwa filsafat hidup orang Toraja adalah “hidup untuk mati”, pada satu pihak
ada kebenarannya – apalagi jika hanya diamati sepintas dan dianalisis hanya
berdasarkan observasi dari luar tanpa partisipasi – namun namun pada pihak yang
lain dapat disimpulkan bahwa orang Toraja penuh dengan upacara-upacara
religius. Pengorbanan dalam Rambu Solo’ mempunyai
fungsi eskatologis mistis dalam artian bahwa kehidupan akhir (di alam mistis
transenden) menentukan dan memberi corak kepada kehidupan di sini dan
sebaliknya. Fungsi pengorbanan dalam Rambu
Solo’ adalah dout des – saya
memberi agar engkau memberi – artinya dalam hubungan dengan yang ilah/dewa atau
arwah-arwah kita memberi sambil mengharapkan imbalan yang lebih besar. Hal ini
nampak dengan jelas dalam upacara Rambu
Solo’ Ma’nene’. Ma’nene’ adalah
mengurus mayat yang sudah lama dikuburkan di dalamnya dipersembahkan kerbau
atau babi.
Tingkatan-tingkatan dalam Pelaksanaan Rambu Solo’
Tingkatan-tingkatan dalam Pelaksanaan Rambu Solo’
Dalam keyakinan Aluk Todolo orang yang sudah meninggal dunia tetapi belum
diupacarakan masih dikategorikan tomakula’
(makula’=panas, sakit). Ia tetap dilayani oleh keluarganya sebagai mana
layaknya melayani orang yang masih hidup. Ia masih diberi makan, minum, rokok,
sirih dan lain-lain. Menjelang upacara puncak pemakamannya barulah ia dianggap
“sungguh-sungguh” telah meninggal dunia. Beberapa hari sebelum pelaksanaan
upacara ia dibaringkan dengan arah utara-selatan dengan kepala menghadap ke
selatan, sebelumnya ia dibaringkan ke arah timur-barat dengan kepala sebelah
barat.
Disamping itu apabila seseorang meninggal
di luar daerah (luar negeri) atau suatu tempat yang tidak diketahui dilakukan
upacara mangrambu tampak beluak dan dipoyan angin.
Ø Mangrambu
Tampak Beluak (mangrambu=mengasapi, tampak=ujung, beluak=rambut) berlaku bagi seseorang yang meninggal di luar daerah
dan jenasah tidak dapat dibawa pulang ke kampung halamannya. Untuk itu keluarga
hanya membawa pakaian, ujung rambut atau ujung kuku si mati yang oleh aluk
dianggap sama saja dengan si mati dan ia dapat diupacarakan sesuai dengan
status sosialnya.
Ø To
Dipoyan Angin (To=orang, Poya=pukat, angin=angin)
berlaku bagi seseorang yang jenasahnya tidak diketemukan (mis: tenggelam di
laut, hilang di hutan dan sebagainya). Seluruh keluarganya pergi ke puncak
bukit dengan membawa sarung yang sebelahnya diikat untuk memukat angin. Kalau
sarung itu menggelembung, maka semua wanita yang hadir menangis karena diyakini
bahwa roh (jiwa) yang meninggal sudah berada dalam sarung itu. Sarung itulah
yang kemudian diupacarakan sesuai dengan status sosialnya.
Karena upacara Rambu Solo’ adalah bagian dari aluk
(lesoan aluk), sehingga
pelaksanaannya harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku dan yang
ditetapkan untuk itu. Salah satu faktor yang menjadi dasar pelaksanaan upacara Rambu Solo’ adalah stratifikasi sosial
yang dalam masyarat Toraja dibagi ke dalam empat kelompok:
Ø Tana’
Bulaan (tana’=patokan, bulaan=emas) yaitu kasta bangsawan tinggi.
Ø Tana’
Bassi (bassi=besi) yaitu golongan bangsawan
menengah.
Ø Tana
Karurung (karurung=batang enau) yaitu golongan
orang-orang merdeka.
Ø Tana’
Kua-kua (kua-kua=sebangsa rerumputan) yaitu
golongan hamba atau budak (kaunan)
Dengan patokan kasta tersebut maka upacara Rambu Solo’ juga dikenal dalam empat
tingkatan, yaitu:
I. Tingkat untuk golongan hamba atau budak (tana’ kua-kua):
Ø Dipasilamun
Tallo’ Manuk (dipasilamun=dikuburkan dengan, tallo=telur, manuk=ayam), yaitu upacara bagi anak yang meninggal waktu lahir.
Mayatnya dibungkus bersama sebutir telur ayam kemudian dikuburkan pada hari itu
juga disebelah utara lumbung atau disamping rumah. Ia dikuburkan bersama
urihnya, karena itu sering juga disebut dipasilamun
toninna (toni=urih).
Ø Didedekan
Palungan/dikambuturan Padang (didedekan=dipukul, palung=tempat makanan babi; dikambuturan=hentakan tumit kaki, padang=tanah). Upacara semacam ini
diperuntukkan bagi orang dewasa yang tidak punya apa-apa dan keluarganya tidak
mampu. Keluarga yang ada hanya memukulkan tempat makanan babi dan menghentakkan
kaki ke tanah setelah itu mayat dikuburkan pada hari itu juga.
Ø Disilli’ yaitu bentuk upacara untuk anak-anak yang
meninggal dunia yang belum tumbuh giginya, juga untuk orang dewasa yang miskin.
Ia dibuatkan liang pada sebuah pohon besar sebagai kuburannya.
Ø Dibai
Tungga’(dibai=dengan babi, tungga’=satu). Dalam tingkatan ini babi yang dipotong
sekurang-kurangnya satu ekor. Mayat dapat disemayamkan satu malam di rumah duka
dan keesokan harinya langsung dikubur.
Ø Dibai
A’pa (a’pa=empat), yaitu tingkatan dimana babi
yang dipotong antara 4-10 ekor. Setelah selesai upacara di rumah duka, keesokan
harinya langsung di kubur.
II. Tingkat untuk golongan orang merdeka (tana’ karurung)
Ø Diisi
(diberi gigi), yaitu
untuk anak yang meninggal dunia pada waktu giginya belum tumbuh, tetapi karena
ia adalah keturunan bangsawan maka ia berhak diberi korban seekor kerbau.
Ø Dipasangbongi
(satu malam), biasa disebut juga ditedong tungga’ (tedong=kerbau, tungga’=satu).
Dalam upacara ini dipotong seekor kerbau dan minimal 4 ekor babi. Pada
tingkatan ini sudah dilaksanakan badong (lagu
kedukaan).
Ø Ma’tangke
Patomali atau biasa juga
disebut ditanduk bulaan (ma’tangke=membawa dengan tangan, patomali=kedua tangan, ditanduk=diberi tanduk, bulaan=emas) yaitu tingkatan bagi
seseorang yang sebenarnya hanya layak untuk dipasangbongi
(ditedong tungga’), tetapi karena
diberi keistimewaan sehingga jumlah kerbau yang dipersembahkan dua ekor dan
minimal 16 ekor babi. Dipatallung bongi
(tiga malam). Dalam tingkatan ini jumlah kerbau yang dipersembahkan 3-4 ekor
dan minimal 16 ekor babi.
III. Tingkat untuk golongan bangsawan menengah
(tana’ bassi)
Untuk tingkatan ini,
upacaranya dikenal dengan istilah dibatang
(persiapan pesta besar) atau juga sering disebut didoya tedong (didoya=menunggui
mayat, tedong=kerbau). Untuk
tingkatan ini masih ada dua kategori, yaitu:
Ø Dipaling
bongi (lima malam) yaitu
upacara yang berlangsung lima malam. Jumlah kerbau yang dipersembahkan antara
5-7 ekor dan minimal 18 ekor babi.
Ø Dipapitung
bongi (tujuh malam).
Untuk kategori ini jumlah kerbau yang dipersembahkan antara 7-9 ekor dan minimal
22 ekor babi. Di daerah Tallu Lembangna (Makale, Mengkendek,
Sangalla’) masih dikenal tingkatan yang disebut: dipapitung lompo (lompo=gemuk)
dimana kerbau yang dipersembahkan 18 ekor dan babi minimal 32 ekor.
IV. Untuk golongan bangsawan tinggi (tana’ bulaan) bentuk upacaranya disebut dirapa’i. Dalam upacara ini mayat sudah
dibuatkan tau-tau (patung) sebagai
personifikasi dari orang yang telah meninggal dunia. Upacara Dirapa’i masih dibagi dalam 5 tingkatan:
Ø Dilayu-layu. Jumlah kerbau yang dipotong antara 9-12
ekor dan babi minimal 32 ekor.
Ø Rapasan
Sundun (anak rapasan),
yaitu tingkatan yang lebih tinggi dari dari upacara dilayu-layu. Jumlah kerbau yang dipotong 24 ekor dan babi minimal
32 ekor.
Ø Rapasan
di baba gandang. Pada
tingkatan ini jumlah kerbau yang dipotong 30 ekor dan babi minimal 32 ekor.
Pada tingkatan ini khusus bagi seorang pahlawan juga dipersembahkan satu orang
yaitu salah seorang budaknya atau yang diculik dari musuh (dibantai). Untuk
masa sekarang korban manusia tidak lagi dilaksanakan.
Dari gambaran secara singkat
tentang tingkatan upacara Rambu Solo’ dalam
masyarakat Toraja, kita dapat memahami bahwa status sosial seseorang sangat
menentukan bentuk dan tingkatan upacara Rambu
Solo’. Untuk lebih jelasnya, maka di bawah ini diuraikan secara sepintas
urut-urutan pelaksanaan upacara Rambu
Solo’ khususnya untuk golongan menengah ke atas. Urutan-urutan ini
merupakan pola umum upacara Rambu Solo’ di
seluruh wilayah adat Toraja. Pada prinsipnya upacara Rambu Solo’ khususnya yang dirapa’i
dapat dibagi dalam dua bagian. Kedua bagian ini ialah upacara yang
dilaksanakan di sekitar rumah tongkonan (dikenal dengan istilah dialuk pia) dan yang dilaksanakan di Rante (rante=lapangan). Upacara yang dilaksanakan di Rante tersebut biasa disebut juga
dialuk rante.
a. Dialuk Pia.
ü Hari pertama disebut dipakalambi’i yaitu menyatakan bahwa upacara Rambu Solo’ dari yang bersangkutan sudah siap untuk dimulai. Letak
jenasah mulai dibalik dari arah timur-barat ke arah utara-selatan dengan kepala
menghadap ke selatan. Pada saat ini keluarga sudah melakukan maro’ yaitu pantang makan nasi, kecuali
ubi-ubi dan jagung. Maro’ adalah
tanda solidaritas kepada yang meninggal dunia. Jagung dan ubi-ubian di kalangan
pemeluk Aluk Todolo mempunyai simbol
makanan penderitaan atau makanan kedukaan, sedangkan nasi adalah simbol dikala
manusia berada dalam kesukaan. Yang melaksanakan Maro’ adalah keluarga atau kerabat yang dekat.
ü Hari kedua disebut Ma’karu’dusan atau Ma’puli,
yaitu memperingati saat-saat terakhir si mati menghembuskan nafas yang
terakhir. Pada hari itu dipotong kerbau yang dagingnya menjadi rampasan bagi
orang banyak.
ü Hari keempat disebut Mebalun (membungkus mayat). Acara ini dilakukan oleh petugas khusus
yang disebut to mebalun atau to ma’kayo yang biasa berasal dari
kalangan hamba/budak dari si mati.
ü Hari kelima disebut Ma’tombi (tombi adalah
semacam bendera atau panji-panji yang dikibarkan di tempat upacara). Pada hari
itu semua perhiasan yang melambangkan kebesaran dari yang meninggal dunia mulai
dipasang.
ü Hari ketujuh adalah hari dimana mulai
dilaksanakan acara Ma’pamempe’
(membawa ke pinggir) yaitu upaca menguburkan jenasah di atas rumah.
ü Tiga hari sesudah acara Ma’parempe’ dilaksanakan upacara Ma’bolong (kain putih yang dicat warna
hitam).
ü Sepuluh hari sesudah Ma’parempe’ dilaksanakan acara Ma’passurruk
memasukkan kerbau ke dalam kolong rumah dari tempat mayat yang disimpan).
Dengan selesainya acara ini maka rangkaian acara Aluk Pia secara formal dianggap selesai. Dengan demikian persiapan
untuk beralih ke acara Aluk Rante
segera dimulai.
b. Dialuk Rante.
Yaitu rangkaian acara yang
berhubungan dengan pemindahan jenasah dari rumah Tongkonan ke rante (lapangan upacara). Adapun
urut-urutannya secara garis besar adalah:
ü Ma’tundan (membangunkan) yang mengandung arti bahwa
rangkaian acara kedua siap dimulai. Mulai dari pagi gong dipukul/dibunyikan sampai
acara selesai. Sejak saat itu Ma’badong
(lagu kedukaan) sudah dapat dilakukan.
ü Mebalun (membungkus mayat). Tiga hari sesudah Ma’tundan, dilakukanlah mebalun, yaitu membungkus mayat yang
dilengkapi dengan segala perhiasan yang melambangkan status dan kebesaran yang
bersangkutan.
ü Empat hari sesudah upacara mebalun dilaksanakan upacara Mengkalao Alang (mengkalao=turun, alang=lumbung
padi yang berukir), di mana jenasah diturunkan dari rumah untuk disemayamkan
dilumbung selama tiga malam.
ü Ma’pansonglo
(ma’palao) yaitu mengarak jenasah ke tempat upacara dilaksanakan (rante). Biasanya pada upacara ini
diadakan adu kerbau yang akan dipersembahkan dalam upacara Rambu Solo’ itu.
ü Karampoan
Tau (penerimaan tamu).
Satu hari setelah acara ma’pasonglo,
dilaksanakan acara penerimaan tamu-tamu yang datang melayat. Tamu-tamu yang
datang itu ditempatkan di pondok-pondok sekitar lapangan upacara yang sengaja
dibuat untuk itu.
ü Mantunu (tunu=bakar)
yaitu hari dimana semua kerbau yang telah dipersiapkan oleh keluarga untuk
upacara itu disembelih yang kemudian dibagi-bagikan sesuai dengan ketentuan
adat yang berlaku.
ü Meaa/Ma’peliang yaitu saat dimana jenasah dikuburkan ke
dalam liang batu yang merupakan kuburan kaum keluarga dari Tongkonan yang sama.
ü Ma’parundun
Bombo (parundun=mengantar makanan, bombo=arwah dari orang yang meninggal).
Tujuh hari setelah penguburan seluruh keluarga melaksanakan acara parundun bombo yaitu upacara mengantar
makanan (sesajian) ke liang kubur.
ü Delapan hari sesudah penguburan
dilaksanakan acara membuka pote yang
dilaksanakan oleh toma’kayo atau tomebalun. Dengan acara ini dinyatakan
bahwa masa berduka telah berakhir.
ü Massapa’i (sapa’=batas).
Tiga atau empat hari sesudah penutupan masa berduka diadakan upacara massapa’i yang dimaksudkan dengan usaha
untuk membersihkan diri dari hubungan dengan upacara Rambu Solo’.
ü Ma’pakende
masero (ma’pakende=memberi makan, masero=bersih). Empat hari sesudah
upacara massapa’i dilaksanakan upacara
ma’pakende masero maksudnya
memutuskan hubungan dengan upacara Rambu
Solo’ sehingga sejak saat itu keluarga yang bersangkutan dapat lagi
melakukan upacara Rambu Tuka’.
Dari rangkaian upacara Rambu Solo’ seperti yang digambarkan di
atas, nampak bahwa mulai dari awal sampai akhir kegiatan senantiasa diwarnai
oleh aluk sola pemali (pemali=pantangan). Setiap tahap kegiatan
harus dilakukan dengan berpedoaman kepada aturan aluk dan pemali.
Disamping upacara-upacara tersebut di
atas, maka ada satu tingkatan (tahap) yang harus ditempuh yang kadang-kadang
pelaksanaannya dilakukan jauh sesudah pelaksanaan upacara Rambu Solo’ (kadang-kadang sampai bertahun-tahun) yaitu upacara pembalikan tomate atau dibalikan pesungna (pembalikan=membalik, to mate=orang
mati, pesungna=sesajen). Upacara ini
dimaksudkan sebagai pengantar arwah seseorang untuk membali puang (menjadi dewa atau ilah). Pembalikan tomate
sebenarnya sudah menjadi bercorak upacara Rambu
Tuka’, dan juga bertingkat-tingkat sesuai dengan kasta dan status seseorang.
Atau dengan kata lain, tingkatan upacara pembalikan
tomate harus sesuai dengan tingkatan Rambu
Solo’ seseorang. Tingkatan-tingkatan tersebut adalah:
·
Untuk
todidedekan palungan/dikambuturan padang
serta todipasilamun tallo manuk,
berlaku acara yang disebut dibaba bo’bo’
(baba=bagian permukaan, bo’bo’=nasi).
·
Untuk
todisilli’, dibai tungga, dan dibai a’pa’
bentuk upacaranya disebut piong sanglampa
(piong=lemang, sanglampa=satu ruas).
·
Untuk
todipasang bongi bentuk upacaranya
disebut ma’tadoran manuk (ma’tadoran=mempersembahkan, manuk=ayam).
·
Untuk
ma’tangke patomali, tingkat
upacaranya disebut ma’tadoran bai
(mempersembahkan babi)
·
Untuk
todipatallung bongi bentuk upacaranya
disebut ma’tete ao’ dengan memotong
dua ekor babi atau mangnganta’ dengan
memotong empat ekor babi (ma’tete=melalui
titipan atau jembatan, ao’=aur, mangnganta’=mengantar).
·
Untuk
todipalimang bongi, tingkatan
upacaranya disebut massura’tallang
dengan memotong empat ekor babi (massura’=mengukir,
tallang=bambu).
·
Untuk
dipapitung bongi, tingkatan
upacaranya juga disebut massura’tallang
tetapi memotong delapan ekor babi.
·
Untuk
tingkatan upacara Rambu Solo’ dirapa’i
maka upacara pembalikan tomate (dibalikan pasungna)
disebut merok dengan mengorbankan
minimal satu ekor kerbau.
Simbol-simbol Upacara Rambu Solo’
Yang dimaksud dengan simbol-simbol Rambu Solo’ di sini adalah pemaknaan
terhadap semua atribut yang digunakan dalam upacara tersebut. Karena atribut
yang digunakan dalam atribut Rambu Solo’ banyak
sekali dan tidak sama untuk semua wilayah adat di Toraja, maka hanya di angkat
beberapa di antaranya yang di anggap penting. Hal-hal yang dimaksud adalah:
Tongkonan
Tongkonan
adalah rumah adat dari satu rumpun keluarga (marga) dimana persekutuan darah
daging dipelihara . Tongkonan adalah tempat pembinaan dan pemeliharaan aluk.
Disamping itu Tongkonan juga berfungsi sebagai sumber wibawa kepemimpinan. Ia
bermakna simbolik sebagai lembaga kekuasaan, kebesaran dan kemuliaan sang
pendiri juga keturunan yang dibangun di atas keunggulan, prestise dan privilise
tertentu. Setiap orang harus mengetahui dari tongkonan mana ia berasal, baik
dari pihak ibunya maupun dari pihak ayahnya. Oleh karena tongkonan mengikat
seluruh keluarga, maka bila ada upacara yang dilaksanakan, baik Rambu Solo’ maupun Rambu Tuka’, maka upacara tersebut harus dilaksanakan di rumah
tongkonan itu dan semua keluarga diharapkan hadir.
Pakaian
Dalam upacara rambu
solo’ pakaian yang digunakan adalah pakaian yang berwarna hitam. Warna
hitam adalah simbol kekelaman atau kedukaan. Oleh karena itu dalam suatu
upacara Rambu Solo’ keluarga dan
semua orang yang datang ke tempat itu umumnya menggunakan kain berwarna hitam.
Di samping itu digunakan juga pula pote
yaitu tali dari benang berkepang yang ujungnya berumbai dan pada rumbai itu
tercocok manik-manik. Pote ini
dipakai pada keluarga yang sedang maro’.
Selain pakaian warna hitam, digunakan juga pakaian warna merah (lambang
kemuliaan) untuk menghias pondok-pondok atau peti jenasah, khususnya pada
upacara rambu kaum bangsawan menengah
ke atas.
Ukiran
dan Hiasan-hiasan
Pada upacara Rambu
Solo’ tingkat rapasan, rumah, halaman dan pondok serta peti jenasah diberi
ukiran dan hiasan-hiasan yang semuanya bermakna melambangkan kebesaran yang
meninggal dunia. Hiasan-hiasan dan ukiran-ukiran yang digunakan dalam Rambu Solo’ dimaksudkan sebagai
pengantar arwah untuk memasuki dunia seberang yaitu puya. Oleh karenea itu, kesemarakan suasana dalam pelaksanaan
upacara Rambu Solo’ diyakini oleh
penganut Aluk Todolo sebagai
kesempurnaan si mati memasuki puya. Jadi jelas segala ukiran dan macam hiasan
yang digunakan dalam upacara Rambu Solo’
mempunyai simbol “proyeksi” mesuknya sang arwah ke dunia seberang sana. Ukiran
dan hiasan yang biasa digunakan pada upacara Rambu Solo’ pada bermacam-macam, namun di sini hanya akan
dipaparkan beberapa di antaranya, yaitu:
-
Saringan (palaidura)
yaitu usungan mayat yang dibuat dari kayu.
-
Langi’-langi’ berbentuk rumah mini Toraja yang dipasangkan pada
saringan (pelengkap saringan) dan bermakna sebagai simbol
kebesaran.
-
Duba-duba (lamba-lamba)
yaitu kain merah yang direntangkan panjang-panjang di atas kepala wanita ketika
mayat sedang dalam arak-arakan dari rumah duka ke tempat pelaksanaan upacara (ma’pasonglo’/ma’palao)
-
Lakkean yaitu pondok yang dibuat ditengah-tengah tempat pelaksanaan
upacara sebagai tempat mayat disemayamkan selama upacara berlansung. Pondok ini
dibuat dengan ketinggian kurang lebih 10 meter
dan dilengkapi dengan segala macam hiasan-hiasan/ ukiran yang
melambangkann kebesaran.
-
Tombi yaitu kain berukir yang menyerupai panji-panji
yang dipasang pada sekitar tempat pelaksanaan upacara.
-
Bala’kayan yaitu menara yang dibuat dekat dengan lakkean
yang berfungsi sebagai tempat melaksanakan pembagian daging dalam upacara Rambu Solo’
-
Simbuang yaitu batu yang berbentuk lonjong yang diarak
dari tempat jauh, dan didirikan di sekitar tempat pelaksanaan upacara yang
selain berfungsi sebagai batu peringatan bagi si mati sekaligus berfungsi
sebagai tempat menambat kerbau yang akan dikorbankan pada upacara itu.
-
Kandaure yaitu perhiasan dari manik-manik yang dicocok
pada benang dan berbentuk corong,
digunakan sebagai pelengkap kebesaran upacara Rambu Solo’ (juga dipergunakan dalam upacara Rambu Tuka’= pesta kesukaan).
-
Daman yaitu sejenis kertas emas yang dipakai menghias
peti jenasah sebagai pengganti emas, khusus bagi bangsawan menengah ke atas.
-
Lantang (barung)
yaitu pondok-pondok yang khusus dibuat untuk keperluan upacara Rambu Solo’. Apabila pondok itu
jumlahnya banyak, maka tempat pelaksanaan upacara akan menyerupai perkampungan
baru.
Kesenian
Dalam upacara Rambu
Solo’, kesenian dan tari-tarian mempunyai arti yang dalam. Jenis kesenian
dan tari-tarian yang mempunyai arti yang dalam, jenis kesenian dan tari-tarian
yang dipentaskan dalam upacara Rambu
Solo’, antara lain:
-
Baddong yaitu nyanyian yang dilagukan dalam keadaan
berdiri, yang disertai dengan gerakan tangan dan hentakkan kaki sambil berputar
dalam kelompok yang membentuk lingkaran.
-
Retteng yaitu nyanyian kedukaan yang dilagukan secara
berbalas-balasan oleh dua orang atau lebih
-
Dondi’ yaitu nyanyian yang dinyanyikan sekelompok orang
secara berbalas-balasan.
-
Marraka yaitu nyanyian kedukaan yang diiringi oleh
seruling bambu
-
Randing yaitu sejenis tarian perang yang disertai dengan
hentakkan kaki dan pekikan suara oleh para penari pria. Randing hanya dilakukan
pada pemakaman seorang lelaki yang dianggap pahlawan
Semua bentuk kesenian dan
tari-tarian tersebut di atas dilakukan untuk mengekspresikan kedukaan yang
mendalam karena kematian. Khususnya dalam badong,
syairnya mengungkapkan sejarah perjalanan hidup bahkan pernghormatan terakhir
pada yang meninggal dunia
Menurut kepercayaan aluk todolo semua nyanyian dan tarian
yang digelar dalam upacara Rambu Solo’,
merupakan proyeksi kemuliaan dari yang meninggal dunia dlam memasuki dunia
seberang sana. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tarian dan nyanyian dalam
upacara Rambu Solo’, selain merupkan
ungkapan kedukaan dan penghormatan, juga merupakan “Simbol Kemuliaan” arwah
seseorang memasuki dunia arwah.
Tau-Tau (patung)
Tau-tau (tau = orang) ialah patung atau arca yang berfungsi sebagai
personifikasi dan seseorang yang meninggal dunia dan hanya diadakan dalam
tingkat upacara Rambu Solo’ bagi
golongan bangsawan menengah ke atas. Ada dua macam tau-tau atau arca yang
dikenal yaitu tau-tau kayu dan tau-tau karurung
Untuk
membuat tau-tau dibutuhkan pemahat khusus yang dikenal dnegan istilah Topande. Selama proses pembuatan topande harus tidur dekat atau di bawah
kolong rumah jenasah disemayamkan. Setelah selesai tau-tau tersebut didirikan di dekat peti jenasah. Ia diperlakukan
seperti orang hidup (diberi nasi, pakaian dan perhiasan). Pakaian dan perhiasan
yang dikenakan itu menunjukkan status sosial si mati. Oleh karerna itu,
dikatakan Tau-tau adalah The Living Dead yang karenanya harus
dihormati, disembah dan diratapi. Ia lebih dari sekedar arca biasa hasil karya
seorang pemahat. Ia adalah penjelmaan dari si mati yang selama upacara
berfungsi sebagai penghubung antara ornag yang masih hidup dan kaum keluarga
kerabat yan telah meninggal dunia, dnegan kata lain ia berfungsi sebagai
pembawa titipan dari orang yang masih hidup kepada mereka yang telah meninggal
dunia. Jadi dalam Aluk Todolo, Tau-tau mempunyai nilai religius dan
sosial.
Rante
Rante (lapangan) adalah tempat penyelenggaraan
upacara Rambu Solo’, khusus bagi
kalangan menengah dan ke atas pada tingkatan dirapa’i. Di tempat ini dibangun sejumlah pondok berantai yang
berfungsi sebagai tempat penginapan selama upacara berlangsung.
Erong
Pada
zaman dahulu dalam masyarakat Toraja setiap golongan bangsawan menengah ke atas
yang meninggal dunia dibuat peti jenasah yang disebut erong. Bentuknya menyerupai perahu yang diukir. Sedangkan untuk
orang-orang merdeka/biasa hanya dibungkus dengan kain yang berlapis-lapis dan
berbentuk bulat lonjong. Dari sini jelas terlihat bahwa jenis peti jenasah
menunjukkan status sosial seseorang dalam masyarakat Toraja.
Hewan
yang dikorbankan
Pemotongan hewan pada setiap upacara Rambu Solo’ harus didasarkan pada
stratifikasi sosial. Tentang hewan yang dikorbankan dapat dilihat dalam tiga
hal:
a. Jenis hewan
Untuk golongan
bangsawan, khususnya untuk tingkat upacara (rapasan
sundun ke atas) jenis hewan yang dipotong harus lengkap, yaitu kerbau,
babi, anjing, kuda atau manusia (hambanya). Jadi, dari semua jenis hewan
peliharaan, kecuali ayam dan kucing
b. Jumlah
Tentang banyaknya
hewan yang dikorbankan kiranya sudah jelas dalam uraian sebelumnya (dalam
tingkatan Rambu Solo’)
c. Tanda-tanda
Dalam setiap
upacara Rambu Solo’, hewan yang
dikorbankan khususnya kerbau harus didasarkan apda tanda-tanda. Secara umum
kerbau dalam masyarakat Toraja diklasifikasikan dalam empat kelompok (kelas)
sesuia dnegan stratifikasi sosial, yaitu:
-
Pudu/Balian. Pudu
adalah jenis kerbau yang warnanya hitam pekat. Sedangkan balian adalah jenis kerbau jantan yang dikebiri.
-
Saleko. Saleko
adalah jenis kerbau yang berwarna belang. Kedua kelompok kelas tersebut di atas
adalah untuk jebis kerbau yang dikorbankan untuk kasta bangsawan menengah ke
atas.
-
Todi’. Kerbau Todi’
adalah kerbau berkepala timah. Kerbau ini dikorbankan untuk kasta orang-orang
merdeka.
-
Sambao yaitu kerbau yang berwarna abu-abu dengan
bintik-bintik putih di badannya (warna antara hitam dan putih). Kelas kerbau
ini hanya dikorbankan untuk kasta hamba sahaya, karena menurut masyarakat
Toraja kerbau sambao adalah hamba kerbau.
Selain dari kelas
kerbau-kerbau di atas, khusus tingkat upacara dirapa’i yaitu rapasan sundun ke
atas, kerbau yang dikorbankan harus pula dipilih dari jenis kerbau yang
memiliki tanda-tanda khusus seperti:
-
Sokko (kerbau yang tanduknya kedua-duanya terarah ke
bawah)
-
Pangloli (kerbau berwarna hitam yang hanya ujung ekornya
yang berwarna putih)
-
Pudu Bara’ (kerbau berwarna hitam pekat yang matanya juling)
-
Sambok Ra’tuk (kerbau yang ada bintik-bintik putih menyebar
diseluruh tubuhnya.
-
Lotong Boko (kerbau yang hanya punggungnya berwarna hitam)
REFLEKSI RELIGIUS, SOSIO-KULTURAL DAN SOSIO
EKONOMI
Nilai-Nilai
Religius
1. Kehidupan dan kematian sebagai suatu siklus
Pandangan tentang kehidupan dan kematian
menurut agama suku Toraja seperti yang telah dipaparkan sebelumnya dipahami
sebagai suatu siklus. Karena itu, baik kehidupan maupun kematian dipandang
sebagai suatu lingkaran dalam perjalanan hidup seseorang. Kehidupan akan
dilanjutkan di alam sana, yaitu tempat dimana kehidupan itu dimulai. Kematian
bukanlah akibat dosa, tetapi merupakan bentuk peralihan dari dunia empiris ke
dunia mistis transenden.
Agar
peralihan itu dapat terlaksana dengan baik maka tuntutan ritual harus dipenuhi.
Dan ritual yang terpenting adalah upacara Rambu Solo’. Pelaksanaan upacara ini
secara lengkap akan menyebabkan arwah seseorang dapat memasuki puya (dunia
arwah), untuk seterusnya menjadi membali puang (menjadi dewa). Sebaliknya kalau
upacaranya tidak lengkap/ sempurna, maka arwah orang mati tidak akan membali
puang, sehingga akan gentayangan dan akan selalu datang menganggu keluarga dan
orang lain. Arwah-arwah yang sudah membali puang dan yang belum, menampakan
diri dalam apa yang disebut “bombo” sebagai menifestasi dari arwah orang mati
yang sangat ditakuti (khususnya yang belum lengkap ritus-ritusnya), karena
medatangkan malapetaka sekaligus dihormati karena mendatangkan berkat.
2. Hubungan antara kehidupan di dunia ini dan
sesudah kematian.
Dalam
keyakinan Aluk Todolo, dunia di sini
dan dunia di sana mempunyai hubungan timbal balik bahkan saling mempengaruhi.
Realitas kehidupan ini hanya sebenarnya saja,
yang harus dihayati secara pragmatis dalam batas-batas yang ditentukan
oleh aluk sola pamali untuk menjamin
kehidupan dalam realitas alam atas. Atau dengan kata lain, realitas kehidupan
orang Toraja berasal dari alam mistis. Jadi baik hidup sebelum mati (realitas
empiris) maupun hidup sesduah mati (realitas mistis) diikat oleh lingkaran
kehidupan.
Hubungan
ini nyata dalam upacara-upacara ritual yang harus dipenuhi untuk menjamin
kehidupan di sana. Kalau upacaranya lengkap maka arwah simati akan membali
Puang untuk seterusnya dan membawa berkat bagi keluarga atau orang lain. Ini
menujukkan bahwa dapat-tidaknya seseorang memasuki Puya (dunia arwah) dan
membali Puang sangat tergantung pada usaha manusia yang hidup di dunia ini.
3. Hubungan dengan arwah para leluhur
Karena dunia di sini dan dunia di sana
saling mempengaruhi maka antara arwah para leluhur dan keluarga yang masih
hidup terdapat hubungan yang saling mempengaruhi. Itulah sebabnya, sehingga
orang yang masih hidup tetap berkewajiban memlihara kuburan dan mayat dari
leluhurnya. Perawatan itu dilaksanakan
dalam waktu-waktu tertentu dengan mengganti (membaharui) bungkus mayat. Demikian
juga usaha untuk membersihkan kuburan (banua tangmerambu) atau memberikan
pelayanan (suguhan) berupa makanan, sirih, rokok, bunga dan lain-lain. Melalui
upaya demikian hubungan dengan arwah leluhur tetap terpelihara. Disamping itu
juga dimaksudkan sebagai sarana untuk meminta berkat kepada arwah leluhur.
Keyakinan ini lazim dikenal dengan upacara ma’nene.
4. Aspek religius dari pemotongan hewan
Herwan yang dikorbankan dalam upacara Rambu Solo’ diyakini sebagai bekal
seseorang untuk perjalannya memasuki dunia sana. Dengan demikian bila simati
diupacarakan dengan mengorbankan banyak hewan, maka itu berarti bahwa ia juga
memiliki banyak bekal untuk masuk kedalam pua (alam arwah).
Nilai
Kultural
1. Aspek Liang, Patane, Kubur, Lobang Pohon Kayu
Besar (disilli’)
Unsur-unsur
ini dalam keyakinan Aluk Todolo
dipahami sebagai pasangan dari rumah Tongkonan. Oleh karena itu setiap
tongkonan memiliki liang yang manjadi milik dari kaum keluarga yang berasal
dari tongkonan tersebut. Liang dikenal dengan istilah “banua tang marambu”
(banua=rumah, tang marambu=tidak berasap), maksudnya rumah tempat orang-orang yang
tidak lagi berurusan dengan makan minum (rumah orang mati).
2. Saringan, Langi’-Langi’ dan Tau-tau
Saringan
(usungan berukir), langi’-langi’ (rumah mini Toraja) dan tau-tau (patung)
merupakan atribut Rambu Solo’ yang
menunjuk kepada kelas (stratifikasi sosial) dari yang meniggal dunia. Dalam
masyarakat Toraja hanya kasta bangsawan yang boleh dibuatkan saringan,
langi’-langi’ dan tau-tau.
3. Sembangan Suke Baratu/Bulangan Londong
Untuk
upacara Rambu Solo’ pada tingkatan
“rapasan sundun” salah satu kegiatan yang harus dilaksanakan ialah “sembangan
suke baratu/bulangan londong” (sabung ayam). Acara ini merupakan ritus
pelengkap dari Rambu Solo’, sekaligus menujukkan status sosial yang tinggi dari
seseorang.
4. Kesenian
Kesenian yang ditampilkan dalam Rambu
Solo’, khsusnya untuk golongan bangsawan, meliputi Badong, Dondi’, Retteng, Marakka, Katia dan Randing. Jenis kesenian ini meruapakan
sarana peng ekspresian suasana kedukaan yang dialami karena kematian
seseorang. Karena itu kesenian ini
selalu berirama sendu dan memilukan. Orang yang terlibat dalam kesenian ini
merasakan solidaritas yang mendalam dengan simati.
Nilai
Sosial
1. Kekeluargaan
Apabila
seorang meninggal dunia dalam kalangan suku Toraja, Upacara pemakaman tidak
hanya dihadapi oleh suami, istri dan anak-anaknya, tetapi juga keluarga besar
(rumpun keluarga) dari simati. Seluruh keluarga meskipun tinggal ditempat yang
jauh, berusaha untuk hadir dan berpartisipasi dalam upacara Rambu Solo’.
Keluarga-keluarga ini secara bersama menanggulangi biaya pelaksanaan upacara
Rambu Solo’. Bila ada kelaurga yang tidak mengambil bagian maka ia akan
menanggung beban moral yang mengakibatkan ia dapat tersisih dari komunitas
keluarga. Juga keluarga yang lain akan memberi penilaian yang negatif
terhadapnya karena dianggap tidak memiliki solidaritas keluarga.
Hal
ini menujukkan dalam masyarakat Toraja sistem kekeluargaan dan kekerabatan
merupakan sasuatu hal yang penting dan bernilai tinggi. Melalui upacara Rambu Solo’ hubungan kekerabatan
disegarkan kembali, karena upacara ini nmerupakan pertemuan kaum kerabat dengan
semua handai tolan dan semua kenalan biasa. Dikalangan orang toraja saudara
sepupu sampai tahap ke tujuh masih dianggap saudara dekat.
2. Stratifikasi sosial
Dalam masyarakat Toraja stratifkasi sosial
(tana’) dikenal dalam empat tingkatan:
-
Kelas
bangsawan tinggi (tana’ bulaan)
-
Kelas
bangsawan menengah (tana bassi)
-
Kelas
orang-orang merdeka (tana karurung)
-
Kelas
hamba sahaya (tana’ kua-kua)
Stratifikasi ini bersifat tertutup (closed
social stratification) dan membatasi kemungkinan pindahnya seseorang dari
lapisan lain ke kasta lain. Pembagian in dipelihara secara turun-temurun.
Meskipun demikian dalam masyrakat Toraja ada upacara penebusan
(pemulihan) bagi seorang bangsawan yang oleh satu dan lain hal jatuh miskin dan
menjadi hamba. Ia dapat saja memulihkan kedudukannya “aluk sanda saratu” (serta
seratus) yaitu melakukan pesta (upacara) dengan pengorbanan serba seratus
(kerbau seratus, babi seratus, ayam seratus, dan lain-lain). Jadi dalam
masyrakat Toraja, pelaksanaan upacara Rambu
Solo’ juga harus didasarkan pada tana’.
Ini berarti tingkatan upacara untuk tana’ kua kua, tidak boleh sama
dengan upacara untuk tana karurung dan sebagainya, meskipun seorang mampu dari
segi ekonomi. Dengan demikian upacara Rambu
Solo’ mencermikan martabat atau harga diri dari suatu keluarga khsusnya
golongan bangsawan. Dengan kata lain keberhasilan atau kemeriahan penyelenggaran
upacara akan mempunyai nilai sosial yang tinggi dan sekaligus menambah gengsi
suatu keluarga. Sebaliknya keluarga akan merasa sangat malu bilamana tidak
dapat mengupacarakan orang mati mereka sebagaiman layaknya
3. Persekutuan Teritorial/ Handai Tolan
Upacara
Rambu Solo’ tidak hanya melibatkan
rumpun keluarga, tetapi juga melibatkan masyarakat sekitar dan handai tolan.
Dalam masyarakat Toraja, ada bentuk-betuk persektuan sosial yang disebut
“saroan” atau “Kobbu”. Persektuan ini tidak saja didasarkan pada pertalian
biasa, tetapi juga pada adanya kesadarn saling membutuhkan serta kesadaran
untuk berkorban demi kehidupan bersama. Hal ini juga berlaku dalam urusan
upacara Rambu Solo’, dimana seluruh anggota masyarakat secara sukarela terlibat
dalam kegiatan yang berhubungan dengan pelaksanaan upacara tersebut, mulai dari
akhir sampai selesai. Disini terlihat bahwa masyarakat Toraja sejak dulu
menjungung tinggi rasa kekeluargaan dan rasa kegotong-royongan. Selain
masyarakat sekitar, juga keluarga dan kenalan yang berasal dari luar kampung
atau luar daerah juga berusah untuk hadir. Sehingga upacara juga menjadi tempat
pertemuan antara seluruh handai tolan/ kenalan, baik yang dekat maupun yang
jauh.
Nilai-Nilai
Ekonomi
Ditinjau
dari segi ekonomi upacara Rambu Solo’ sepintas
dapat dikatakan sebagai usaha pemborosan biaya/dana yang cukup banyak. Namun
kalau dipahami dari landasan keyakinan Aluk
Todolo, maka upcara ini bagi keluarga bukanlah pemborosan, tetapi terutama
diyakini sebagai bekal bagi si mati untuk masuk ke puya. Dengan pengorbanan
yang diberikan diharapkan bahwa leluhurnya akan datang memberi berkat yang
lebih baik/ banyak lagi. Oleh karena itu seseorang tidak segan-segan untuk
berkorban bagi orang yang meninggal. Seluruh biaya dalam upacara ditanggung
bersama oleh seluruh kaum keluarga, handau tolan dan kenalan. Dalam masyarakat Toraja dikenal: “siendekan” atau “siangkaran”
(saling mendukung), yang mengandung pengertian bahwa bantuan dari kaum kerabat,
handai tolan atau kenalan, terutama berupa kerbau, babi,dll. Akan dikembalikan
dalam suasana dan upacara yang serupa. Jadi dalam pembiayaan upacara terjadi
tolong menolong. Seseorang tidak akan mudah memututskan hubungannya begitu
saja.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI BAGI PEMBERITAAN KABAR
BAIK
Hubungan Rambu
Solo’ dengan Rambu Tuka’
Secara empiris manusia dilahirkan,
hidup lalu mati. Kelahiran adalah peralihan dari dunia mistis transenden kepada
empiris praktis. Sedangkan kematian adalah peralihan dari yang empiris praktis
ke mistis transenden. Silsilah adalah jembatan yang menghubungkan dunia yang
mistis transenden dengan dunia empiris praktis. Karena itu ada dua ritus yang
penting yaitu: Aluk Rambu Tuka’ dan Aluk Rambu
Solo’ (rambu=asap, tuka’=naik, solo’=turun). Aluk Rambu Tuka’ dilaksanakan
dari pagi hingga tengah hari dan dimaksudkan sebagai penyembahan kepada Puang
Matua dan dewa-dewa biasa disebut Aluk Rampe Matallo (rampe=bagian, arah.
Matallo=timur,matahari). Sedangkan Aluk Rambu
Solo’ dilaksanakn pada saat matahari mulai condong ke barat hingga malam
hari. Biasa disebut Aluk Rampe Matampu (matampu=barat). Upacara ini bertujuan
untuk mengantar arwah orang mati menuju dunia arwah (puya) dan untuk para
leluhur yang akan/telah membeli Puang untuk menjadi dewa atau ilah.
Kedua
upacara ini dilaksanakan di rumah Tongkonan. Untuk upacara Rambu Tuka
dilaksanakn di sebelah timur dan utara Tongkonan, sedangkan Upacara Rambu Solo’ dilaksanakan di sebelah
barat dan selatan. Ini karena keyakinan Aluk
Todolo tentang makna arah angina, yaitu:
-
Ulunna
Langi’ (bagian utara) adalah arah datangnya Puang Matua membawa dan memberi
berkat yang juga dinamakan inan pangurande-randean
-
Matallo
(bagian timur) adalah arah datangnya dewa-dewa membawa berkat yang disebut inan
bu’tuan rongko’ atau sumber terang dan kehidupan.
-
Matampu
(bagian barat) adalah tempat bersemayam arwah-arwah leluhur yang sudah membeli
puang disebut inan to umbating
(menangisi mayat).
-
Pollo’na
Langi’ (bagian selatan) adalah tempat bersemayam arwah-arwah orang mati yang
belum membeli puang karena upacaranya belum lengkap (sundun). Tempat ini biasa
disebut inan pangleakan artinya
tempat melepaskan arwah orang yang telah meninggal.
Berdasarkan pemaknaan di atas, maka rumah Tongkonan
sebagai pusat kegiatan Rambu Solo’ dan
Rambu Tuka’ harus dibangun dengan arah utara-selatan (utara berarti menghadap
hulu sungai Sa’dan, sungai terbesar di Toraja) membelakangi utara berarti
membelakangi Puang matua ini bisa mengakibatkan kosmos terganggu yang bisa
mengakibatkan malapetaka bagi masyarakat.
Upacara
Rambu Solo’ dan Rambu Tuka’ adalah
dua rangkaian acara yang wajib dilaksanakan dalam rangka perjalanan manusia
untuk kembali ke asalnya. Meskipun kedua upacara ini berbeda bentuk dan
maknanya secara empiris, namun keduanya memiliki titik temu (persamaan), yang
dapat dilihat dalam tiga hal:
Ø Melalui upacara Rambu Solo’ dan Rambu Tuka’ orang-orang Toraja mengidentifikasi
kekuatan-kekuatan gaib (supra natural). Dalam kedua upacara ini orang Toraja
menyembah Puang Matua, dewa-dewa dan arwah para leluhur yang sudah membali
Puang. Orang Toraja percaya bahwa ilah-ilah tersebut adalah pembawa berkat
sekaligus mendatangkan malapetaka dalam kehidupan manusia.
Ø Melalui upacara Rambu Solo’ dan Rambu Tuka’ diwujudkan serangkaian ritus-ritus
sebagai syarat yang saling melengkapi bagi seseorang untuk kembali membali
Puang.
Ø Alam pikiran Aluk Todolo bertumpu pada konsepsi Totalitas. Oleh sebab itu
pertentangan-pertentangan yang dialami secara empiris (termasuk Rambu Solo’ dan Rambu Tuka’) secara
prinsip dipersatukan oleh Puang Matua sebagai pusat totalitas. Baik dewa yang
disembah dalam upacara Rambu Tuka’ maupun arwah leluhur dalam upacara Rambu Solo’ dipersatukan Puang Matua
sebagai “primus inter peres”.
Jadi baik upacara Rambu Solo’ maupun upacara Rambu Tuka’ pada dasarnya adalah ritus-ritus
yang tidak boleh tidak harus dilaksanakan dalam ranka menjaga keseimbangan
kosmos sebagai satu kesatuan.
Ada
tiga hal yang menjadi penyebab utama sehingga warga jemaat masih dipengaruhi
oleh keyakinan Aluk Todolo’ :
1. Kebudayaan Toraja khususnya upacara Rambu
Solo’dengan segala aspeknya belum di dekati secara utuh dan menyeluruh (holistik)oleh gereja,
sehingga kebudayaan Toraja belum dapat dijadikan sarana yang efektif untuk mengekspresikan sikap iman
Kristen dalam kehidupan sehari-hari.
Gereja harus menggunakan kebudayaan Toraja sebagai wadah untuk
menghadirkan nilai-nilai Kristiani
ke dalam nilai-nilai religio kultural masyarakat. Dengan cara meniggalkan
pendekatan kasuistik yang memilah –milah budaya Toraja.
2. Pengaruh Aluk Todolo’ masih sangat kuat
dalam kehidupan sebagian warga jemaat, khususnya orang-orang Tua (yang sebelum
masuk Kristen memeluk keyakian Aluk Todolo’) adalah merupakan akibat dari
pendekatan PI sesudah masa Zending yang sedikit bercorak Kristenisasi. Motivasi
adalah mengkristenkan dengan cepat
melalui baptisan massal tanpa mempersiapkan dengan baik, juga tanpa
katekisasi yang memadai sebelum dan sedudahnya. Akibatnya seorang masuk Kristen
tapi tetap berorientasi kuat terhadap kepercayaan lamanya, umumnya tokoh-tokoh
adat atau para pemimpin informal yang menjadi sasaran prioritas PI, setelah
menjadi warga gereja, mereka tidak dapat melepaskan kedudukan dan peranan
mereka sebagai personifikasi dari nilai-nilai keyakinan lama.
3. Gereja Toraja kurang mempersipkan generasi
mudanya, untuk hidup sebagai orang Kristen dalam konteks budaya Toraja. Hal ini
terlihat dalam penyajian materi katekiasasi yang bersifat indoktinatif dan
dogamik akan pengakuan gereja Toraja.