Bagian Alkitab ini
menceritakan tentang kesetiaan tiga anak Tuhan (Sadrakh, Mesakh dan Abednego)
pada masa dominasi Babilonia. Kisah ketiga orang ini mengajarkan kita bahwa kesetiaan
kepada Tuhan merupakan harga mati bagi seorang yang menyembah Tuhan. Demi
kesetiaan kepada Tuhan, mereka berjuang melewati kerikil-kerikil penghambat. Mereka
berani tampil beda di tengah-tengah komunitas penyembah berhala. Demi
kesetiaan kepada kebenaran Allah mereka berani membayar berapapun harganya,
bahkan siap menyongsong maut sekalipun. Bagaimanakah ujian bagi kesetiaan
mereka?
I. Ujian sebagai kaum minoritas di tengah-tengah kaum mayoritas.
Ujian kesetiaan tiga pelayan
ini pertama-tama adalah keberadaan mereka – sebagai kaum minoritas – di
tengah-tengah mayoritas penyembah berhala. Penekanan faktor kuantitas
(mayoritas) memang sangat jelas dalam perikop ini. Ayat 2-7 menggambarkan kaum
mayoritas yang menyembah patung emas raja Nebukadnezar: “para wakil
raja, para penguasa, para bupati, para penasihat negara, para
bendahara, para hakim, para ahli hukum dan semua kepala
daerah ... orang-orang dari segala bangsa, suku bangsa dan bahasa.” Sedangkan
pada ayat 12 dituliskan bahwa orang yang tidak mau menyembah patung itu hanya beberapa
orang Yahudi.
Bayangkan mereka tidak mau
tunduk menyembah patung itu, sementara semua orang menyembah berhala itu. Lebih
menegangkan lagi ketika mereka diperhadapkan kepada raja Nebukadnezar. Raja
ini yang memberikan mereka jabatan tinggi di Babel. Dan mereka harus
menetang orang yang memberikan mereka jabatan tersebut. Mereka berdiri di hadapan
semua orang dengan sorot mata tajam yang menantikan tindakan mereka. Semua
orang di sekitar mereka serentak menyembah patung itu dan berharap tiga orang
juga ikut menyembah, namun kenyataannya berbeda. Mereka memilih menyembah Tuhan
dan tidak ikut menyembah berhala.
Tidak jarang anak-anak
Tuhan akhirnya meninggalkan kesetiaan mereka kepada Allah karena tekanan mayoritas
sekitar mereka ataupun tekanan dari otoritas di atas mereka. Kita diingatkan
untuk tetap setia kendatipun mayoritas orang di sekitar kita ataupun atasan
kita menghendaki kita meninggalkan jalan kesetiaan kepada Allah.
II. Ujian Penderitaan.
Ujian kesetiaan yang kedua
bagi Sadrakh, Mesakh dan Abednego adalah penderitaan. Penderitaan berupa
perapian yang menyala-nyala menanti Sadrakh, Mesakh dan Abednego karena mereka
menolak menyembah patung emas raja Nebukadnezar (ay. 6,11,15). Perapian yang
menyala-nyala ini seperti kubur yang ternganga menyambut diri mereka.
Apakah kesetiaan mereka hangus oleh ancaman maut
dari perapian yang menyala-nyala itu? Alkitab mencatat justru ketika ancaman
datang, komitmen kesetiaan mereka dikumandangkan (ay. 16-18). Kesetiaan mereka
kepada Allah tidak akan tergoyahkan oleh maut sekalipun. Kesetiaan yang kokoh
dari Sadrakh, Mesakh dan Abednego tergambar jelas dari dua kalimat komitmen
mereka, “Kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan
menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu.”
Penderitaan memang adalah
tantangan terberat dari sebuah kesetiaan. Seorang anak Tuhan dapat saja setia
tatkala tiada penderitaan, namun ketika diperhadapkan pada penderitaan,
kesetiaannya pupus. Seorang anak Tuhan dipanggil untuk siap menderita demi kesetiaannya
kepada Allah. Kita diingatkan oleh kisah ini untuk siap dan rela menderita bilamana
itu diperlukan demi tetap di jalan kesetiaan. Amin.